Suara itu…
Yang aku tunggu-tunggu Bulan berganti bentuk tiap malamnya Selalu kuperhatikan sambil terpana Melempar pikiran jauh Ke sudut kota, di mana aku dengar asalnya untuk yang pertama Kini, suara itu terdengar lagi Menelponku tiba-tiba Tak kuasa menahan gemetar tangan Suaraku seketika hilang sirna Jantung tak bisa kuhentikan degupnya Apa kabar? Suara lembut itu mulai menyapa Kujawab dengan suara aneh: B-baik, ka-kamu be-bagaimana? Suatu dusta yang aku beri Keadaanku sebenarnya sungguh tak baik Belum pernah kaku begini Dalam balutan waktu, kami sering bersua Hanya lewat pesan tanpa suara Senyum selalu kubaca pesan itu Ah, malu kuceritakan Maaf, sepertinya kita tak bisa seperti dulu Kini, ada hati yang harus kujaga Aku menelpon agar kau tak keliru maksudku Izinkan aku memblokir kontakmu Terima kasih telah menemani hari-hariku Oi mak, inikah rasanya patah hati? Memang patah rasanya Remuk Dibakar pula dalam api Keadaanku makin tak baik saja Puisi ini tak bisa kulanjutkan.
11 Comments
Rasanya hariku sama saja
Tanpa sebuah capaian Tanpa banyak kesan Kosong rasa hati Masih menjadi beban Suram Hari-hari keluh kesah Hari-hari insecure Pandang sana sini Orang-orang tambah hebat Bagaimana bisa? Apakah aku berhak sama? Seperti mereka yang punya bakat Apakah tangga emas itu boleh kunaiki? Katanya, banyak yang turun naik Beberapa jatuh dan bunuh diri Beberapa saling sikut dan menjatuhkan Aku ingin mencoba, namun takut sia-sia Terlalu tinggi untuk ke puncak Tapi… Pesimis ini sudah lelah kujalani Menapaki dua tiga tangga sepertinya aku bisa Ya, aku harus mencoba Semua orang berhak melakukannya Liuk-liuk kehidupan tak tertebak
Ada memberi tanpa terlihat Ada yang bantu tanpa tahu Ada yang tulus ikhlas bersimpati Langka, Satu kata yang lepas terucap Ia terus senyum Dibawanya dua liter minyak Mengisi haus keringnya barang yang kutuntun dua kilo Di bawah terik surya yang tak sanggup kutatap lagi Ada air botol pula yang ia beri Kami berbincang sebentar Ia pernah rasa serupa Tanpa perhatian dari siapa-siapa Di jalan tanah yang sepi begini Tanpa sinyal dan listrik pula Monggo diminum mas! Katanya saat kudengarkan Keringat bercucur mencuci wajah Sudah gosong rasanya Pamit ia pergi, ada yang dikejar Saat kusodorkan rupiah… Dengan santun tangannya menolak Doakan istriku lahir selamat! Ia berlalu pergi Kutatap sampai jauh Lupa bertanya nama Dalam hati… Aku harus jadi begini Usah kau juangkan lagi
Anak istri berfoya dengan dosa Nikmat haram itu mendarah daging Gunakan akalmu berpikir waras Haruskah azab mengingatkan? Atau menunggu sekarat datang Rasakan balasan sepadan tingkah Ajal makin dekat, menjemput Masihkah kau bangga akan itu? Kapankah?
Modernitas semakin membungkam jiwa-jiwa tenang Nuansa alam membentang digantikan sabda tetek bengek Bahasa kian dilunturkan; dipendar dalam hening azura Budayawan makin direndahkan; dihina pandai akalnya! Adat perlahan dalam pasti jadi masygul nan apati Tradisi dianggap mencoreng bangga diri Pegiat diremehkan tindak-tanduk dan saktinya Karya-karya jadi komedi; dicemooh; dicap hina dina! Syariat mulai dilecehkan zahirnya Mobilisasi bergerak tiap menit; menciutkan nyali-nyali pribumi Kini. Angin menggoyangkan bulu kuduk
Membawa suara cakap manusia Entah kemana… Hanya menyiar sekejap, lalu terbang ke fatamorgana Menyimpan aib dan rahasia bersamanya Angin kecil, santai sepoinya Membawa ke renungan panjang Mengajak diri membuai mimpi Menggerakkan gumpalan awan Perlahan Menggoyang ranting pohon dan gugurkan daunnya di waktu sama Angin dari utara dan berbagai arah bolak-balik Menjalin lembut menerpa tubuh Perlahan merajut keras Dingin mulai melanda Awan mula menghitam Masih dimainkan angin-angin Menyatu membentuk koloni Angin berembus menguat Pohon bergoyang hebat Daun yang belum kering lepas dari asalnya Hati mulai was-was Atap seng di pondok kayu menghentak Butir-butir hujan digugurkan awan hitam Angin, berhentilah! Rasanya masih baru, tugas lalu kuakhiri
Tugas baru, sudah datang ia Lima tugas masih menumpuk dalam list Tenggat mengganggu tenang jiwa Nilai jadi tumpuan harap Segala daya habis kuberi Terpaku diri menatap menara buku Yang harus kupahami per satunya Masih berharap, dapat ilham Sayang… Semua hampa tanpa usaha Ambil, baca, tulis, serah, doa Ingin rasanya plagiat Tapi kuharap nilaiku masih suci Tanpa embel-embel curang laknat Andai ada robot yang bisa kucipta Ah, ada tugas lagi! Belum selesai kutulis puisi Pernah benak berpikir Membabu bertopeng mahasiswa Untung ada gunanya Menguap
Baru saja menulis beberapa kata Kasur seakan menjadi hidangan segar kala lapar Selemah itukah manusia? Aneh memang Saat mata ingin dipejamkan Rasa itu hilang berganti beban pikiran Dilema, Sesulit itukah hidup kita? Mungkin ini sebuah suratan Untuk menunjukkan kuasa Tuhan Laa ta’khuzuhu sinaatuw wa laa nauum Ia tak pernah mengantuk dan tak pernah pula tertidur Subhanallah… Begitu banyak makna hidup yang masih tersirat Yang menuntut akal untuk digunakan Putaran jam telah menipu
Seakan masih di tempat sama Jujurnya, ia menggiring tanpa arah Terus mengantarkan pada suatu yang tak pasti Putaran jam telah menipu Seakan semua bisa seperti semula Benarnya, ia hanya membuat kenangan Yang tak bisa kembali satu setelah dua belas Putaran jam telah menipu Seakan bisa berhenti untuk sesaat diperbaiki Lurusnya, ia hanya berhenti satu kali Di titik akhir kehidupan dunia Kawan, kita menapaki dunia yang begitu bejad
Hanya mementingkan nafsu syahwat Semua diembat Tanpa bisa melihat Tanpa sedikitpun pikir tersirat Entah karena dendam kesumat Atau hanya mencari nikmat Padahal gelar mulia didapat Bermandi harkat derajat dan martabat Kawan, berhati-hatilah Predator membayang di sekitar Mengintai mangsa-mangsa yang lemah Yang tunduk di bawah kuasa Yang bisa dijamah hanya dengan paksa Kawan, tunjukkan dirimu yang berharga tinggi Jangan biarkan si Bejad menang mudah Dalam dunia ini kita bebas berekspresi Berani bersuara, entaskan para penyampah Yang berkedok petinggi bermarwah |
Details
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. Categories |