![]() Sebuah kapal besar pada suatu hari dilanda topan patah tiangnya dan pecah kapal itu, kemudian tenggelam bersama penumpang dan awak kapalnya.Salah seorang diantara penumpang kapal yang selamat karena menggunakan sebuah sampan kecil berhasil mencapai pantai pulau Gapi. Dalam keadaan lapar dan letih, ia turun dari sampannya menuju ke darat untuk mencari penduduk pulau tersebut minta pertolongan, namun lapar dan keletihan semakin bertambah dan tidak juga bertemu penduduk pulau itu. Untung baginya di pulau Gapi terdapat banyak buah-buahan yang hanya makanan satwa. Dengan buah-buahan yang ada ia sempat menghilangkan lapar dan dahaganya. Orang tersebut adalah seorang pedagang dan penyiar agam Islam, Jafar Sidik namanya berasal dari negeri Persia. Sesudah ia terhindar dari lapar dan dahaga, berbaringlah ia dibawah pohon yang rindang. Beberapa jam kemudian tibul pikirannya untuk mendirikan sebuah gubuk bagi tempat perlindungan dari panas dan hujan. Ia bangkit mengumpulkan bahan-bahan di sekitar tempat itu guna membangun sebuah gubuk, lalu dibangunnya gubuk itu cukup untuk tempat perlindungannya. Beberapa hari lamanya ia menjadi penghuni pulau Gapi. Pada suatu petang terlihat olehnya arakan awan di atas lereng gunung berwarna-warni kemilauan. Dari iringan awan itu perlahan-;ahan turun menuju sebuah telaga terletak di kaki gunung. Telaga itu bernama Laguna. Dengan tak tahan hati ia mengikuti arak-arakan awan yang turun itu, hingga sampailah ia ke tepi telaga. Dari balik semak belukar di tepi telaga ia mengintai tempat turunnya kemilau awan tersebut. Ternyata tampak olehnya bidadari-bidadari sedang turun mandi di telaga.Dilihatnya bidadari-bidadari itu masing-masing meninggalkan sayapnya dan meletakkannya di tepi telaga, lalu mereka pun melompat ke dalam air dan berenang-renang.Timbul niatnya mencuri satu dari sayap bidadari itu. Maka dengan perlahan-lahan ia merangkak menuju tempat terletak sayap-sayap itu. Diambilnya satu diantara sayap itu, kemudian dibawa pergi dan disimpannya di tempat yang tidak mudah ditemui orang. Jafar Sidik kembali memperhatikan bidadari-bidadari itu sedang berkemas untuk memasang kembali sayap pada tubuh mereka dan terbang kembali ke khayangan bertemu orang tua mereka. Hanya satu di antara bidadari itu tidak menemukan sayapnya.Ia mondar-mandir mencari ke seluruh tepi telaga namun tak juga ditemukan sayapnya. Dengan hati yang iba penuh kesal ia mereatap di tepi telaga itu. Tiba-tiba saja Jafar Sidik muncul di sampingnya.Bidadari itu terkejut hendak melarikan diri, tetapi Jafar Sidik sempat menangkap pergelangan tangannya. Dengan susah payah Jafar Sidik berusaha membujuknya dan akhirnya keduanya bersepakat untuk hidup bersama sebagai suami istri. Menjelang beberapa tahun kemudian keduanya dikaruniai tiga orang putra. Putra-putra itu diberi nama masing-masing Buka, Darajat dan Sahadat, sedang ibu mereka bernama Nursafa. Nursafa bersama suami bertahun-tahun hidup dalam kerukunan tetapi kadang kala ia terkenang juga pada kedua orang tua dan saudara-saudaranya di khayangan. Pada suatu hari Jafar Sidik pergi mencari ikan di laut dari malam sampai siang hari. Nursafa sebagaimana biasa ia memandikan ketiga anaknya kemudian memberi makan dan menidurkan. Dengan tidak menduga ia melihat bayangan sayapnya di dalam air tempat mandi anaknya. Beberapa menit diperhatikan bayangan dalam baskom itu kemudian mengangkat muka memandang kea tap rumah, Nampak tersisip sayapnya di sela atap. Betapa besar sukacita Nursafa, ia segera berkemas kembali karena semua anak sudah tidur. Cepat-cepat diambilnya sayapnya dan dipasang pada tubuhnya lalu ia terbang ke khayangan. Sekembalinya Jafar Sidik, ia tidak dapat menemukan istrinya. Dilihatnya anak-anaknya sedang tidur, sayap istrinya yang disembunyikan sudah tidak ada.Ia segera tahu bahwa istrinya telah kemali ke khayangan. Berhari-hari Jafar Sidik berjalan masuk ke dalam hutan mencari jalan ke khayangan namun tidak ditemukan. Pada suatu hari ia sangat letih setelah berjalan beberapa hari tanpa istirahat. Ia berhenti di bawah pohon yang rindang untuk melepaskan keletihannya. Disandarkannya punggungnya pada pokok pohon itu dan tertidurlah ia disitu. Dalam keadaan tertidur tiba-tiba ia mendengar namanya dipanggil, ia segera terjaga dan mencari-cari suara yang memanggilnya, ternyata yang dilihatnya adalah seekor burung garuda. Burung garuda itu bertanya padanya tentang kesusahan yang menimpa dirinya. Diceritakan semuanya kepada burung itu.Mendengar cerita Jafar Sidik, burung itu menyatakan kesediannya untuk membantunya. Betapa senang hatinya mendengar bantuan yang akan diterimanya. Burung garuda itupun terbang turun dari dahan pohon dan menyuruh Jafar Sidik naik ke punggungnya lalu dibawa terbang ke khayangan. Setiba Jafar Sidik menghadap raja khayangan, ia menyerahkan diri serta memohon ampun dan minta belas kasihan raja khayangan agar dipertemukan dengan istrinya. Raja khayangan menerima permohonan Jafar Sidik, tetapi apabila raja menampilkan ketujuh putrinya, ia harus menunjuk dengan tepat istrinya. Ketika ditampilkannya ketujuh putrinya, mereka semua berparas sama, tetapi setelah seekor lalat hinggap di dahi salah seorang bidadari segera ia mengetahui itulah istrinya. Oleh raja khayangan, keduanya dinikahkan di sana. Setahun kemudian keduanya dikaruniai seorang putra yang diberi nama Cico Bunga. Pada waktu Cico Bunga berusia dua puluh tahun, kakeknya raja Khayangan menginginkan agar cucunya turun ke bumi untuk memimpin rakyat negeri Gapi yang makmur dengan cengkih tetapi mereka hidup dalam permusuhan sehingga negeri itu tidak maju dan berkembang seperti negeri-negeri Duko, Tuanane dan Seki. Maka diperintahkannya cucunya untuk turun ke negeri Gapi dengan dibekali semua perlengkapn yang ia kehendaki. Disamping semua yang diberikan guna dibawa ke bumi, tak lupa kakeknya memberikan petunjuk sebagai pedoman baginya dalam melaksanakan kepemimpinannya, yaitu dengan caratara no ate yang artinya turun kau memikat dan menarik semua rakyat, dimanapun mereka berada supaya dating ke negeri Gapi bersama-sama membangun negeri itu. Pesan kakeknya diikutinya setelah ia tiba di negeri Gapi. Dilaksanakannyalah yang pertama yaitu memikat semua rakyat yang ada, kemudian menarik rakyat dari negeri yang jauh dating mendiami dan membangun negeri Gapi. Maka berdatanganlah rakyat dari negeri-negeri yang jauh ke negeri Gapi. Penduduk pun bertambah semakin banyak yang terdiri dari berbagai suku dan bangsa yang diterima dengan baik dan diberi tempat untuk tinggal di negeri itu. Guna mengatur negeri dan penduduknya, maka dibentuklah suatu struktur pemerintahan dimana Cico Bunga sebagai kolano dengan bawahannya adalah para menteri. Kemudian dibentuklah juga dewan perwakilan rakyat marga dan klan yaitu sembilan orang wakil dari marga dan klan yang disebut soa sio dan Sembilan orang wkil wilayah yang disebut sangaji. Soa sio dan sangaji terdiri atas delapan belas anggota dewan yang disebut bobato nyagimoi satufkange, atau dewan delapan belas. Dewan delapan belas ini mempunyai tugas menyusun dan membentuk hukum adat. Selain dewan delapan belas, ada juga satu dewan tertinggi yang terediri atas anggota-anggota dewan delapan belas ditambah dua belas anggota dari klan yang bertugas sebagai angkatan laut yang disebut heku dan dua belas anggota klan yang bertugas sebagai angkatan darat yang disebut cim. Dewan ini disebut kolano dan memberikan keputusan untuk menyatakan perang. Dalam pembentukan organisasi kekuasaan itu mereka berpedoman pada dasar-dasar kehidupan masyarakat yang ada yaitu;
Sumber : Umi Hidayati, S.S (Kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbmaluku/asal-mula-kerajaan-ternate) ........................................... Oleh : Adam Sangadji
10 Comments
Pulau Ternate adalah Pulau yang tidak hanya kaya akan rempah-rempah, namun juga cerita rakyat serta tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satu kisah rakyat Ternate yang menjadi legenda dan dikenang hingga masa kini adalah Cerita Asal-usul terjadinya Danau Tolire. Nuansa mistis bercampur haru mewarnai kisah klasik rakyat Ternate ini. Uniknya, tempat-tempat yang menjadi bagian dari cerita ini masih dapat kita saksikan hingga saat ini.
Alkisah seorang Ayah yang berhubungan intim dengan putrinya hingga sang putri tersebut mengandung. Padahal, sang Ayah konon adalah seorang pemimpin desa yang terletak di kaki Gunung Gamalama dan cukup dihormati oleh warganya. Setelah hubungan memalukan itu diketahui oleh penduduk desa, Ayah dan putrinya ini pun mendapatkan hukuman sosial dengan diusir dari desa tempat mereka berada. Dalam kondisi sangat malu, sang Ayah dan putrinya pun pergi dari desa tempat mereka tinggal. Namun belum sempat mereka pergi, sebuah gempa bumi dahsyat pun terjadi melanda desa tersebut. Beberapa warga percaya bahwa gempa itu merupakan hukuman dari Yang Maha Kuasa karena perbuatan maksiat antara Ayah dan putrinya tersebut. Desa itu pun terguncang dengan tanah yang retak, muncul air dan menenggelamkan seluruh desa beserta penduduknya ke dalam bumi. Akhirnya desa tersebut pun menjadi sebuah Danau raksasa yang dikenal sebagai Danau Tolire besar. Kutukan ini tidak berhenti sampai disini, sang Putri yang mengetahui datangnya bencana pun sempat melarikan diri hingga ke tepian pesisir laut. Namun, kutukan gempa tersebut tetap terjadi dan melanda tanah tempat putri tersebut berpijak. Musibah yang terjadi di desa mereka pun kembali terjadi dan menciptakan danau lainnya yang lebih kecil dan dikenal sebagai Danau Tolire kecil. Hingga saat ini, masyarakat Ternate masih mempercayai kisah Legenda ini dan menganggap Danau Tolire Besar sebagai simbol dari sang Ayah terkutuk dan Danau Tolire Kecil sebagai simbol keberadaan Putri sang Ayah tersebut. Kisah memilukan ini juga menimpa penduduk desa tersebut. Mereka ikut terkena imbas dosa dari Ayah dan putrinya itu dan Sang Kuasa pun mengutuk mereka semua menjadi buaya putih penjaga Danau Tolire Besar yang awalnya adalah desa mereka. Kisah ini memang dipercaya hanya sebatas legenda, namun menurut pengakuan warga setempat, sudah banyak wisatawan maupun penduduk lokal yang melihat langsung keberadaan buaya-buaya putih penunggu Danau Tolire Besar dengan mata kepala sendiri. Terkait kutukan ini, warga setempat juga percaya bahwa tidak ada satupun orang yang mampu melemparkan batu hingga ke tengah danau. Berbagai kisah yang terkait Legenda ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang akan berkunjung ke Danau Tolire. Bahkan, para penjual makanan yang ada di dalam kompleks obyek wisata Danau Tolire dapat menjual batu-batu kerikil untuk membuktikan bahwa tidak ada satupun yang dapat melempar batu hingga ke tengah danau. Anehnya, hingga kini memang tidak ada satupun orang yang mampu melempar batu hingga ke tengah danau. Biasanya, sejauh apapun lemparannya, lemparan itu hanya akan berakhir di pinggir danau, atau kembali ke tebing tempat berpijak. Terlepas dari kisah Legenda yang memilukan ini, Danau Tolire tetaplah danau yang sangat mempesona. Hamparan Danau seluas 5 hektar dengan kedalaman mencapai 50 meter menjadi daya tarik bagi para wisatawan. Tidak hanya itu, bila sore menjelang, baik Danau Tolire Besar maupun kecil akan menjadi tempat sempurna menikmati matahari terbenam dengan latar lautan biru nan indah. Para penduduk lokal pun memanfaatkan situasi ini untuk berdagang, biasanya pisang goreng serta kelapa muda menjadi andalan makanan yang dijual bagi para wisatawan sembari mereka menikmati waktu santai di Danau Tolire. Sumber PhosPhone Indonesia Kaya (indonesiakaya.com) Ditulis oleh : M. Khadam Th. Sangadji - DII Batch 4 Provinsi Maluku Utara Dahulu kala di Padang Sumatra Barat tepatnya Perkampungan Pantai Air Manis, hidup seorang janda bernama Mande Rubayah dan anaknya bernama Malin Kundang. Malin sangat disayangi oleh ibunya, karena sejak kecil ditinggal mati oleh ayahnya. Malin dan Ibunya tinggal di perkampungan nelayan dan karena ibunya sudah tua Ia hanya bisa bekerja sebagai penjual kue. Suatu hari, Malin jatuh sakit dan tubuhnya mendadak panas sekali, Mande Rubayah panik dan sangat bingung karena sebelumnya Malin tidak pernah jatuh sakit seperti ini. Mande Rubayah berusaha sekuat tenaga dengan mendatangkan tabib untuk mengobati Malin. Nyawa Malin yang hampır melayang akhirnya dapat diselamatkan berkat kerja keras ibunya. Setelah sembuh dari sakit, Malin makin disayang. Mande Rubayah sangat menyayangi anaknya dan begitupun dengan Malin yang juga sangat sayang kepada ibunya.
Ketika dewasa, Malin pamit kepada ibunya untuk pergi merantau dan mencari pekerjaan. Disaat yang bersamaan, kapal besar sedang merapat di Pantai Air Manis. "Bu.. ini kesempatan besar bagi saya, belun tentu setahun sekali ada kapal besar yang merapat di pantai ini. Malin janji akan merubah nasib kita dan menjadi kaya raya" kata Malin. Walaupun dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengijinkan anaknya untuk pergi. Malin membawa bekal nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus. Hari berlalu terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Ia memandang ke laut dan bertanya dalam hati, sampai di manakah anaknya kini? Bagaimana jika ada ombak ataupun badai besar yang menghempas ke pantai? Dadanya berdebar-debar dan langsung menengadahkan kedua tangannya sembari berdo'a agar anaknya selamat dalam pelayaran. Jika ada kapal yang datang merapat, Mande Rubayah selalu menanyakan kabar tentang anaknya. Namun semua awak kapal atau nakhoda tidak pernah memberikan jawaban yang memuaskan untuknya. Hari berlalu begitu cepat, Malin tak pernah menitipkan pesan apapun kepada ibunya. Sedangkan Mande Rubayah bertahun-tahun menunggu kabar dari anaknya hingga tubuhnya semakin tua dimakan usia. Jika berjalan Ia mulai terbungkuk-bungkuk. Suatu hari, Mande Rubayah mendapat kabar dari nakhoda yang dulunya membawa Malin bahwa sekarang Malin telah menikah dengan gadis cantik dan merupakan putri seorang bangsawan kaya raya. Mande Rubayah turut gembira mendengar kabar tersebut. la juga selalu berdo'a agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya. "Ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang.."rintih Mande Rubayah tiap malam. Namun hingga berbulan-bulan semenjak Ia menerima kabar Malin belum juga datang menemuinya. Mande Rubayah tetap yakin suatu saat Malin pasti akan kembali. Harapan Mande Rubayah akhirnya terkabul, di hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal berlayar menuju pantai. Kapal tersebut terlihat megah dan bertingkat-tingkat. Hingga Orang kampung mengira bahwa kapal itu milik seorang sultan atau raja, dan mereka menyambutnya dengan gembira. Ketika kapal mulai merepat, tampak sepasang muda-mudi berdiri di anjungan. Pakaiannya berkilau terkena sinar matahari, wajah mereka cerah dihiasi senyum dan tampak bahagia karena disambut dengan meriah. Mande Rubayah ikut berdesakan untuk mendekati kapal. jantungnya tak berhenti berdebar. Dia yakin bahwa lelaki muda itu adalah anak kesayangannya Malin Kundang. Tetua desa belum sempat menyambut, ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin dan langsung memeluknya dengan erat. Seolah takut kehilangan anaknya lagi. "Malin, anakku…" katanya menahan isak tangis karena merasa gembira, "Nak.. mengapa kau begitu lama tidak memberi kabar?" Malin terpana karena dipeluk oleh wanita tua yang berpakaian compang-camping dan tentu tak tercaya bahwa wanita itu adalah Ibunya. Malin hanya mengingat bahwa ibunya adalah seorang wanita berbadan tegar dan kuat menggendongnya ke mana saja. Malin belum sempat berpikir dengan tenang, istrinya yang cantik meludah sambil berkata, "Hahh? Wanita buruk inikah ibumu? Kau membohongi aku? Bukankah dulu kau katakan Ibumu adalah seorang bangsawan sederajad dengan kami?". Mendengar perkataan istrinya, Malin Kundang mendorong wanita itu sampai terguling ke pasir. Mande Rubayah tidak percaya apa yang dilakukan anaknya, Ia jatuh dan terduduk sambil berkata, "Malin, Malin, anakku. Aku ibumu, Nak!" Malin Kundang tidak menghiraukan yang dikatakan ibunya. Pikirannya sangat kacau karena ucapan istrinya. Jika wanita itu benar ibunya, diapun tidak akan mengakuinya karena merasa malu. Wanita itu Kembali beringsut dan hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata,"Hai, Perempuan tua! Ibuku tidak mungkin sepertimu yang melarat dan dekil!" dengan intonasi yang tinggi. Wanita tua itu terkapar di pasir dan semua orang terdiam. Tak disangka Malin yang dulunya sangat disayangi olehnya tega berbuat demikian. Mande Rubayah pingsan dan terbaring sendiri di tepi pantai dan saat sadar, Pantai Air Manis juga sudah sepi. Di laut Ia melihat kapal Malin yang semakin menjauh. Hatinya perih rasanya seperti ditusuk. Hingga tangannya ditengadahkan ke langit dan berseru dengan hatin yang pilu,"Ya Allah yang Maha Kuasa, kalau dia bukan anakku, aku maafkan perbuatannya. Tapi kalau memang dia benar anakku, Malin Kundang, aku mohon keadilan-Mu, ya Tuhan...." Tidak lama kemudian, cuaca di tengah laut yang sebelumnya cerah mendadak berubah menjadi gelap. Hujanpun tiba-tiba turun dengan lebat. Entah bagaimana awalnya tiba-tiba datang badai beşar menghantan kapal Malin Kundang, disusul sambaran petir yang menggelegar. Seketika kapal tersebut hancur berkeping- keping dan terhempas ombak hingga ke pantai. Matahari pagi memancarkan sinarnya dan badaipun telah reda. Di kaki bukit terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu, dan itulah kapal Malin Kundang. Tak jauh dari tempat tersebut terlihat sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia. Konon itulah tubuh Malin kundang si anak durhaka yang terkena kutukan menjadi batu dari ibunya. Di sela-sela batu tersebut berenang ikan teri, ikan belanak, dan ikan tenggiri. Konon, ikan tersebut berasal dari serpihan tubuh sang istri yang mencari Malin Kundang. Demikianlah, dan sampai sekarang, jika ada ombak besar menghantam batu yang mirip kapal dan manusia itu, terdengar bunyi seperti lolongan jerit manusia. Sungguh terdengar sangat memilukan. Kadang bụnyinya seperti orang meratap dan menyesali diri. “Ampuuun, Bu.! Ampuuun, Buuuuu...!" konon itulah suara Malin Kundang. Orang yang durhaka kepada kepada ibunya, orang tersebut tidak akan masuk surga kecuali telah mendapat pengampunan sang ibu. Sumber : Rahimsyah, M. B. (2004). Kumpulan cerita, legenda, dongeng rakyat nusantara. Jakarta: Bintang Indonesia DItulis oleh: Muh. Ilham. DI Batch 4 Provinsi Sulawesi Selatan Berkata yang empunya ceritra, adalah sebutir telur penyu kebetulan terletak dekat sebuah sumur yang disebut bubung baranie2) (menurut ceritra lain, bahwa telur itu adalah telur ayam). Pada suatu waktu datang seekor ular besar mengerami telur itu. Semua wanita-wanita dan anak-anak yang selalu ambil air di sumur itu sudah takut mendekat. Setelah cukup dua puluh satu hari lamanya telur itu dierami oleh ular, menetaslah. Adapun yang lahir dari telur tersebut seekor anak ayam yang sangat indah bulunya. Setelah telur menetas maka ular besar tadi menjalar turun ke sungai, akan tetapi selalu membawakan makanan kepada anaknya tiap hari sampai cukup empat puluh hari. Kelihatan anak ayam itu seperti ditiup-tiup, cepat sekali menjadi besar. Apabila anak ayam tersebut bercampur sesama anak ayam dan mematuknya, maka anak ayam yang dipatuk itu mati. Lama kelamaan pertumbuhan badannya makin tambah besar dan kuat, sudah terkenal di kampung itu karena sudah banyak ayam yang dipatuk lalu mati, rupanya patuknya berbisa, Penduduk kampung Panyula berusaha untuk menangkapnya, akan tetapi sukar menangkapnya, sebab kalau malam berubah bentuknya menjadi ular dan di waktu siang baru berbentuk ayam. (Menurut suatu riwayat lain, sebabnya sehingga disebut kampung itu Panyula, karena di situlah lahir Bakka Maroe, kemudian dierami oleh ular. Terdiri dari kata penyu dan ular menjadi Panyula). Orang-orang kampung bingung melihat perbuatan ayam berbisa itu, bila mematuk ayam baik kecil maupun besar, terus saja mati. Berita ini sampai di istana didengar oleh Raja tentang kebingungan kampung Panyula.
Suatu waktu akan diadakan pesta sabung ayam di Wajo, merupakan pesta rakyat mengadu ayam oleh orang-orang Wajo melawan ayam orang-orang Bone. Terkenal pula ayam orang Wajo yang disebut ayam Segong, besar lagi tinggi; panjang lehernya dan kuat melompat. Tawaran orang Wajo diterima oleh Raja, maka diumumkanlah ke seluruh pelosok tanah Bone hari yang telah ditetapkan akan berangkat ke Wajo menyabung ayam. Raja juga memerintahkan untuk menangkap Bakka Maroe agar dibawa ke istana. Pada hari yang telah ditetapkan berkumpullah semua penyabung membawa ayam sabungannya, kemudian berangkat menuju Wajo. Kemudian dari itu, pada hari yang ditentukan behimpunlah semua orang-orang Wajo dan orang Bone di suatu tempat penyabungan, ramailah orang berdatangan menonton. Tepat benar matahari memancarkan sinarnya di waktu pagi pesta rakyat dimulai atas restu dari Arung Matoa Wajo3). Tempik sorak meramaikan pesta itu berteriak menghasut ayamnya. Belum begitu lama berlangsung, ayam-ayam orang Bone sudah berguguran satu persatu, amatlah malunya mereka dan bingung melihat keadaan itu ditambah kalah judi yang sangat menekan perasaan. Tinggal lagi seekor ayam yang masih sisa tempat menggantungkan harapan akan menebus malu dan kekalahannya, yaitu Bakka Maroe. Sekarang tiba giliran Bakka Maroe dilepas, sekali saja mematok lawannya lalu mati. Berganti-ganti diganti lawannya, tiap kali mematuk lawannya lalu mati seperti minum racun, belum lagi melompat menggunakan tajinya. Demikian keadaannya Bakka Maroe dengan mudah saja membunuh semua lawan-lawannya, akhirnya bangkai bergelimpangan di hadapannya. Kembali orang-orang Wajo terheran-heran bertanya dalam hatinya, ayam apa ini, begitu berbisa patuknya. Sudah tujuh hari lamanya pesta berlangsung dengan meriahnya kemudian mereka kembali masing-masing ke kampungnya. Ada pun dalam keadaan demikian, orang-orang Wajo berusaha mencuri Bakka Maroe dan berhasil mengambilnya dari kurungannya. Keesokan harinya orang-orang Bone akan kembali ke negerinya dilihatnya Bakka Maroe hilang dari kurungannya, dicarinya kian kemari, tetapi tidak berhasil menemukannya akhirnya mereka kembali dalam keadaan susah. Suatu malam Bakka Moroe gelisah dalam kurungannya ingin keluar dan berhasil lepas, kemudian berjalan-jalan ke pinggir rawa-rawa, tiba-tiba ia melihat sepotong batang pisang sedang hanyut di sungai Cenrana, ketika itu ia melompat bertengger di atas potongan batang pisang itu kemudian hanyut bersama sampai pada muara sungai Pallima . Dari tempat itu ia melihat lagi sepotong kayu gabus sedang diombang ambing kan ombak di pinggir laut, segera ia melompat diatas kayu itu, dihempas ombak ditiup angin mengikuti arus. Tidak lama kemudian, kebetulan sekali sedang pasang naik sampailah ia di muara sungai Panyula pada dini hari, melompatlah naik di pohon kayu, bertengger, di situlah ia sampai terbit matahari. Sementara itu para nelayan dari Panyula sedang bertolak dari muara sungai akan mencari ikan di lautan, tiba-tiba mereka mendengar bunyi ayam. Salah seorang di antaranya berkata, rupanya sama bunyinya Bakka-Maroe, lebih baik kita tangkap, sebab kalau Bakka Maroe bebas mencari makanan dikampung kita akan habis mati ayam-ayam kita dipatuki nanti. Dikepungnya Bakka Maroe dan mereka berhasil menangkapnya kemudian dipotongnya lalu dimakannya. Tulang-tulang dan bulunya ditanamnya di pinggir sungai. Pada suatu waktu tersiar berita bahwa pernah kedengaran bunyi Bakka Maroe di muara sungai Panyula, berita ini sampai pada telinga raja, maka Raja Bone memerintahkan anjingnya ke Panyula untuk mencium jejak Bakka Maroe. Tidak berselang beberapa hari datanglah anjing sedang menggigit tulang-tulang dan bulu ayam. Setelah diadakan penyelidikan, yakinlah raja bahwa Bakka Maroe yang berjasa itu telah mati, dipotong oleh orang-orang Panyula. Raja menyuruh beberapa orang untuk mengikuti anjing itu ke Panyula dimana Bakka Maroe ditanam. Berselang beberapa waktu maka Raja Bone memutuskan di hadapan para anggota adatnya katanya, orang-orang Panyula musti dikenakan hukuman karena melanggar adat yaitu mereka telah memakan kepunyaan kerajaan, mereka potong Bakka Maroe yang sudah berjasa membesarkan nama kerajaan Bone diluar negeri, sudah berjasa menutup malu orang-orang Bone dalam pesta penyabungan ayam di Wajo. Arajang4) menolak orang-orang yang berbuat demikian. Lebih baik kita jadikan penduduk Panyula dengan tugas pendayung hingga keturunannya. Demikianlah gerangan sehingga orang Penyula diberi nama keturunan pendayung. Apabila Raja ingin pergi bertamasya di laut makan-makan ikan, maka dipanggillah orang-orang Panyula mendayung perahu. Demikian pula tugasnya orang-orang Panyula bila Raja akan berjalan melalui laut atau .akan pergi melancong dengan perahu, maka siap dan tetap pendayungnya. _____________________________ 1). Bakka Maroe : ayam kurik, yang bulunya terdiri dari warna hitam campur putih. Lahir dari telur penyu kemudian dierami oleh ular. 2). Bubung baranie : sumur berani, maksudnya suatu sumur bertuah bila airnya dimandikan pada lasykar-lasykar akan menjadi berani berperang. 3). Arung Matoa Wajo : Merupakan Raja dan gelar Datu, dibawahnya terdiri dari tiga orang Kepala Pemerintahan daerah yang bernama Limpo TelluE Kajuru'na 4). Arajang : alat-alat ker-ajaan yang bisa saja terdiri dari batu-batu permata atau puala, kain- kain, tombak, keris atau biasa terdiri dari guci atau palu. BIODATA PENULIS Muhammad Syahrullah. Sr, Duta Inspirasi Provinsi Sulawesi Selatan. lelaki asli keturunan Bugis Makassar yang akrab disapa Rull atau Syarh dan memiliki nama rumah Angga. Lahir di Ujung Pandang, 22 Oktober 2001. Memiliki ketertarikan terhadap dunia kepenulisan sejak duduk dibangku kelas 6 SD dan telah menulis -+ 15 Buku Antologi dan beberapa kali menjuarai Cipta Baca Puisi dan kompetisi kepenulisan sastra lainnya seperti Cipta Cerpen, Quotes, Karya Tulis Ilmiah dan Esai. Jejaknya bisa teman-teman temui di akun Instagram pribadi miliknya: @syarh.sr Makassar, 14 Februari 2022 16/2/2022 ASAL USUL ORANG BAJO “Serta hubungannya dengan penamaan Pulau-Pulau Sembilan di Kabupaten Sinjai/Sul-Sel”Read NowWritten By: Muhammad Syahrullah. Sr Kata yang empunya ceritra pada zaman dahulu kala di daerah Sulawesi Selatan belum ada orang Bajo/Torijene (artinya orang yang berdiam diair).
Konon Kabarnya orang Bajo itu berasal dari Johor/Malaysia. Pada suatu ketika putri Raja Bajo pergi bercengkerama bersuka ria naik perahu bersama dayang-dayangnya ke tengah laut. Malang tak dapat ditolak sudah ditentukan oleh takdirnya, tiba-tiba datang angin kencang diiringi ombak besar kemudian menghanyutkan perahunya tidak tentu arah tujuannya. Mereka berteriak minta tolong tapi suaranya hilang ditelan suara gemuruh ombak yang menggulung perahunya. Berhari-hari lamanya mereka hanyut terkatung-katung mengikuti jalannya arus. Akhirnya perahu mereka terdampar ke tepi pantai di muara sebuah sungai yang kemudian dikenal namanya ialah sungai Cerekang di daerah Luwu/Sulawesi Selatan. Raja orang Bajo di Johor setelah menjelang petang menunggu putrinya belum juga pulang, ia pun merasa khawatir kalau-kalau putrinya belum juga pulang, ia pun merasa khawatir kalau-kalau putrinya kena musibah. Beliau menyuruh pengawalnya memeriksa ke pantai. Di tepi pantai dari beberapa nelayan mendapat keterangan bahwa kemungkinan besar tuan putri kena musibah sebab angin kencang dan ombak besar bertiup siang tadi. Kami orang-orang nelayan mengurungkan maksud kami turun ke laut karena takut akan kena bahaya" Setelah pengawal mendengar keterangan para nelayan ini, iapun segera pulang dan langsung melaporkan hal ini kepada rajanya. Raja Bajo sangat kaget mendengar berita ini dan seketika itu juga memerintahkan kepada semua orang Baja pergi mencari putrinya serta kutukan tidak boleh ada naik ke darat/pulang ke kampung apabila putri raja tidak dibawa pulang. Orang-orang Baja dengan memakai perahu mereka terus terpencar mengarungi lautan. Dalam pelayaran itu orang-orang Baja yang sudah tua dan tak sanggup ikut meneruskan perjalanannya terpaksa singgah tapi karena takut kena kutukan rajanya, mereka tidak naik ke darat melainkan hanya membuat Rumah panggung di atas air di tepi pantai atau tetap pada perahunya yang berlabuh di tepi pantai. Tempat-tempat yang mereka lalui antara lain pesisir Sumatra, Kalimantan, Pilipina dan akhirnya terus ke Sulawesi dan tiba di teluk Bone. Orang-orang Bajo singgah di tepi pantai di teluk ini untuk beristirahat sementara, disamping itu akan mencari keterangan kalau-kalau ada yang melihat putri raja yang dicarinya. Tempat persinggahan orang-orang Baja ini kemudian dinamai Bajo (Kabupaten Bone). Setelah berapa lama mereka tinggal di Bajo akhirnya mereka mendapat keterangan bahwa putri raja yang mereka cari sekarang berada di Luwu membuat perkampungan di muara sungai Cerekang. Orang Baja di Bone ini kemudian meneruskan pelayarannya lagi menuju ke Luwu di muara sungai Cerekang. Setelah sampai disana benarlah didapati putri raja bersama dayang-dayangnya hidup dengan tenteram. Beberapa puluh tahun kemudian tersebutlah Raja Sawerigading akan berlayar ke Cina (Nama salah satu tempat di Kabupaten Bone) untuk pergi mengawini saudara sepupunya yang bernama We Cudai Daeng Risompa. Suatu kesulitan sebab perahu untuk Sawerigading ke Cina tidak ada. Sepakatlah orang-orang di Luwu akan menebang kayu welenrengnge yang tumbuh di tepi sungai Cerekang untuk dibuatkan Sawerigading perahu. Konon kabarnya kayu welenrengnge ini adalah pohon yang terbesar di seluruh dunia pada waktu itu. Di atas pohon kayu welenrengnge ini pada saat itu bersarang berjenis-jenis burung yang ada di Sulawesi. Setelah kayu welengrenge ini ditebang, terjadilah banjir telur burung yang pecah selama tiga bulan. Setelah itu disusul pula banjir atau air bah yang sangat besar sehingga orang-orang Bajo yang berkampung di muara Sungai cerekang hanyut akhirnya terdampar di suatu tempat yang kemudian dinamai Malili yang artinya mali = hanyut. Disinilah orang-orang Bajo yang hanyut itu tadi membuat perkampungan baru. Beberapa puluh tahun lamanya mereka berdiam di tempat ini, aman dan tenteram tak ada suatu gangguan. Maka pada suatu hari tersebutlah Putri Raja Bajo yang bernama Tuan putri Papu pergi bercengkerama dan bersuka ria naik perahu ke tengah laut. Malang datang menimpa pada saat itu tiba-tiba datang angin kencang diiringi gelombang yang besar, sehingga perahu putri Papu dan pengiringnya hanyut dibawa ombak. Pada waktu sore tibalah laporan kepada raja bahwa tuan putri bersama pengiringnya kena musibah sewaktu ia bermain-main naik perahu di tengah lautan bersama para pengiringnya. Raja Bajo di Malili memerintahkan kepada rakyatnya untuk pergi mencari putrinya hidup atau mati harus dibawa pulang. Raja juga mengeluarkan sumpah bahwa mereka akan kena kutukan apabila mereka naik ke darat tanpa membawa Tuan putri. Semua orang Bajo yang ada di Malili berangkat dan membagi dirinya atas dua kelompok. Satu kelompok menuju Sulawesi Tenggara, dan satu menuju ke selatan melayari Teluk Bone. Kelompok yang menuju keselatan ini terpaksa sebahagian singgah karena sakit di pulau-pulau yang bersebaran di Teluk Bone, Pulau-pulau ini sekarang bernama pulau sembilan termasuk Kabupaten Sinjai. Setiap pulau ini mempunyai nama tersendiri sebagai berikut : Sekarang namanya Pulau Liang-liang dahulu pulau Tandotulai yang artinya ikan Katombong karena di pulau ini banyak ikan Katombong. Sekarang Pulau Kambuno dahulu Pulau Same artinya perkampungan karena dipulau inilah pertama ada perkampungan. Sekarang Pulau Katindoang dahulu Pulau Kako artinya pulau hantu karena sering dijumpai ada hantu. Sekarang Pulau Kodingngareng dahulu dinamakan Pulau Lingga yang artinya Pulau persinggahan. Sekarang Pulau Batang Lampe dahulu Batang Lambere yang artinya Pulau Panjang. Sekarang Pulau Kanalo satu dan Kanalo dua dahulu disebut Pulau Tadinang I dan Tadinang II yang artinya Pulau Pekuburan, karena di sinilah dikuburkan orang-orang Bajo yang mati. Setelah orang-orang Bajo berkampung di pulau-pulau ini, pada suatu hari datanglah kawanan bajak .laut yang mengambil tempat persembunyian disalah satu pulau yang belum dihuni oleh orang Bajo. Pulau ini kemudian diberi nama BurungloE sesuai nama Kepala bajak laut yaitu BalunruE. Orang-orang Bajo disamping ada yang singgah di pulau-pulau yang disebut di atas, masih ada pula yang melanjutkan pelayarannya dan tiba di Selat Makassar. Di sini mereka menjumpai perahu yang ditumpangi .putri Papu, tetapi perahu itu sudah kosong tak ada isinya seorangpun. Mereka mengira bahwa Putri Papu telah meninggal dan dikuburkan di pulau yang ada di dekat tempat mereka menemukan perahu itu. Pulau itu mereka dekati dan akhirnya mereka naik memeriksa kalau mayat tuan putri ada tergolek. Semua tempat sudah dijelajahi tapi mayat tuan putri tidak dijumpai. Mereka pikir jangan-jangan mayat tuan putri dikubur dalam tanah, maka mereka menggali lagi tanah mencari mayat yang diperkirakan ada terkubur. Mayat tidak didapat sehingga mereka pulang ke perahunya lagi. Tempat atau Pulau ini kemudian diberi nama Tanakeke yang artinya tanah digali. Mereka melanjutkan pelayarannya dengan sedikit gembira karena perahu tuan putri sudah didapat. Tentu tuan putri ada di sekitar tempat ini. Akhirnya mereka bertemu dengan beberapa orang nelayan. Dari nelayan inilah mereka mendapat keterangan bahwa putri yang mereka cari sekarang ada di istana Raja Goa dan sudah dijadikan permaisuri. Orang-orang · Bajo menu ju ke Goa, setelah tiba mereka menghadap raja sekedar untuk menemui tuan putri. Akhirnya mereka bertemu dengan tuan putri yang sekarang Makassar yang berbunyi : "Teako callai Bajoa rimabollong bukkulengna, niappa Bajo nania Somba ri Goa" Artinya : Jangan dicela dihina orang Bajo karena kulitnya hitam sebab nanti ada Somba karena orang Bajo. Demikianlah kisah orang Bajo dan Pulau-pulau Sembilan yang ada di Kabupaten Sinjai. BIODATA PENULIS Muhammad Syahrullah. Sr, Duta Inspirasi Provinsi Sulawesi Selatan. lelaki asli keturunan Bugis Makassar yang akrab disapa Rull atau Syarh dan memiliki nama rumah Angga. Lahir di Ujung Pandang, 22 Oktober 2001. Memiliki ketertarikan terhadap dunia kepenulisan sejak duduk dibangku kelas 6 SD dan telah menulis -+ 15 Buku Antologi dan beberapa kali menjuarai Cipta Baca Puisi dan kompetisi kepenulisan sastra lainnya seperti Cipta Cerpen, Quotes, Karya Tulis Ilmiah dan Esai. Jejaknya bisa teman-teman temui di akun Instagram pribadi miliknya: @syarh.sr Makassar, 14 Februari 2022 WRITTEN BY: MUHAMMAD SYAHRULLAH. SRSekali peristiwa, pada suatu waktu, pada saat belum datangnya Manurung, bahwa tidak ada batas-batas aturan dalam masyarakat, orang hidup dalam kacau balau laksana ikan saling memakan sesamanya. Orang banyak menjadi sengsara karena ke-adzan demikian, semua orang susah menginginkan seorang pemimpin yang ditaati, mereka semua mencari siapa yang akan dijadikan Puang²). Oleh karena pada waktu itu yang ditaati hanyalah orang tua yang memang sudah tua umurnya dan berani. Orang membentuk masyarakatnya berdasarkan kelompok-kelompok kekerabatan dan kepemilikan yang ada hubungan darah, mereka hidup bergolong-golongan di suatu tempat, di suatu kampung. Tiap kampung atau tiap persekutuan hidup saling bermusuh-musuhan antara satu dengan yang lain dan saling merampas harta benda
Berkata yang punya ceritra, pada suatu ketika, waktu gelap gulita, seluruh penduduk Bone melihat suatu sinar bercahaya. Sudah bermacam-macam yang dikatakan orang mengenai sinar itu, ada yang menamakan kebakaran, ada juga yang mengatakan pelangi. Sudah beberapa hari dan malam sinar itu selalu bercahaya, maka bersepakatlah orang banyak, semuanya heran melihat cahaya itu. Orang banyak bersatu mengatakan, lebih baik kita berangkat menyongsongnya agar jelas bagi kita. Hasil persepakatan semua berangkat ingin mengetahui apa gerangan yang selalu bercahaya itu. _________________________________ I). Manurungnge ri Matajang, adalah orang yang turun dari kayangan, yang menjadi. Raja pertama di Bone. Turun pada suatu batu datar di kampung Matajang. 2). Puang, dapat 'diterjemahkan Tuan. Tetapi orang Bugis menyapa rajanya dengan menyebut Puang. Orang yang dihormati senantiasa disapa dengan kata Puang. Setelah tiba di tempat, didapatinya seorang yang sedang berpakaian putih melintas, berpakaian serba keputih-putihan, maka mengundanglah orang banyak mengatakan: "Hai semangatmu, marilah engkau munculkan dirimu agar mendatangkan kebaikan kami". Menyahutlah orang yang berpakaian putih jawabnya: "Bukan saya yang sesungguhnya. engkau maksudkan, sebab saya sendiri. mempunyai tuan, ia ada di belakang, saya hanya pengiring saja". Setelah mendengar jawaban orang yang berpakaian serba putih, maka orang banyak kembali berpikir-pikir, kemudian semuanya bersepakat mengangkat orang tua, yang paling tua usianya, agar dapat memelopori ke depan. Bersatulah orang banyak akan menghadap pada cahaya diantar oleh orang tua yang sudah diangkat diantara mereka, maka dinamakanlah Puang Matoa³). Setelah ·tiba maka menarilah Puang Matoa dengan tarian alosu4) mengelilingi cahaya itu berulang-ulang kemudian mengucapkan kata-kata persembahan: "Kemarilah hai semangatmu, turunlah kemari agar kita saling menunjuki kebaikan dan tidak saling mendatangkan keburukan. Engkau angin dan kami daun kayu, ke mana engkau berembus ke sana kami terbawa, kehendakmu berlaku pada kami, dan kata-katamu berbukti oleh kami serta rencanamu ikutan bagi kami, engkau mengharap kami memberi dan engkau mengundang kami datang. Akan tetapi urus kami agar tidak bercerai berai, engkau harus menjaga kami agar tidak berselisih dan engkau menyelimuti kami agar tak dingin". Adapun setelah Puang Matoa berhenti berkata-kata, datanglah gelap gulita beserta hujan yang lebat, kilat sabung menyabung, guntur saling berbalas balasan, petir memecah seolah-olah akan memecahkan bumi, bergoyanglah tanah, gemetar perasaan makhluk-makhluk bumi. Tiada berapa lama kemudian, keadaan demikian ini, semuanya telah mereda, guntur dan kilat sudah berhenti, maka mulailah matahari memancarkan sinarnya dan dalam pada itu turunlah pula to Manurung, berpakaian serba warna kuning turun pada sebuah batu datar di Matajang bersama pengiringnya, membawa serta payung kuningnya. Dalam keadaan demikian segera Puang Matoa menari mengelilinginya. Beliau ini turut serta bersama empat orang berdampingan duduk, yaitu diiring oleh pembawa payungnya, pembawa tempat sirihnya dan pembawa kipasnya. _________________________________ 3). Puang Matoa, diterjemahkan jadi Tuan yang tua. Pada mulanya Puang Matoa adalah Panggilan bagi orang yang dituakan atau orang yang usianya dianggap lebih tua, tetapi kemudian berkembang menjadi suatu pengertian jabatan. Kepala-kepala kampung pada zaman permulaan terbentuknya pemerintah pusat hasil federasi persekutuan hidup maka kepala-kepala persekutuan hidup maka kepala-kepala persekutuan hidup disebut Puang Matoa, yang dahulunya kelompok persekutuan hidup itu dipimpin dari orang yang tua usianya diantara mereka. Disamping Matoa gelar jabatan, ada juga istilah Mado, kemudian lagi muncul istilah Sulewatang dari kata sulle + watang = pengganti diri dari raja. 4). Alosu, adalah salah satu atribut bissu. Pada mulanya belum ada bissu, nanti kemudian setelah kerajaan berkembang, dan jumlah alat kerajaan (arajang) makin bertambah, maka diadakan dalam kerajaan satu kelompok Bissu dengan mempunyai strukturnya sendiri, pemimpinnya bergelar Puang Matoa, mungkin tiruan dari Puang Matoa yang menyongsong turunnya to Manurung. Tugas Bissu merawat alat-alat kerajaan untuk memberi kesaktian pada raja disamping menjadi dukun istana, mereka terdiri dari orang-orang banci laki yang sudah melalui pelantikan oleh Tomarilaleng (Menteri dalam negeri). Setelah selesai penjemputan maka diangkutlah masuk ke Bone dan Puang Matoa berkata: "Engkaulah tumpuan harapan, engkaulah yang diperlakukan menginjak tikar jemputan, yang 4iberi berpegang pada gelang, yang disongsong dengan kain Cinde5), yang dipatungi dengan lellu6), yang dikerumuni dengan oje7) yang diantar dengan kipas, yang diiringi dengan ana beccing8), yang diramaikan dengan bunyi-bunyian gendang, yang diantar berkeliling pada balairung dan engkaulah yang didudukkan pada tikar bundar". Tatkala ·upacara demikian telah selesai, maka sengsara lagi orang banyak berhubung karena suami to Manurung belum datang. Tidak lama kemudian, adalah suatu waktu orang banyak melihat suatu cahaya di sebelah timur di kampung Toro' dimana pelangi sedang terpancang di tempat itu. Orang banyak bersepakat akan berangkat ke Toro' karena ingin mengetahui apa gerangan cahaya itu, dengan dipimpin oleh Puang Matoa. Setelah tiba didapatinya seorang yang sedang duduk lengkap dengan segala peralatannya, maka disembahlah oleh Puang Matoa dengan menari mengelilinginya sambil membunyikan gendang dan serunai. Pada saat cahaya telah menghilang, maka diangkutlah masuk ke Bone dan diiringi oleh orang banyak dalam keadaan bergembira ria. Tidak diketahui berapa lama, maka keduanya dilantik diatas pusat untuk menjadi Tuan dari orang Bone, dilantik dua suami istri oleh Puang Matoa disertai dengan kata-kata pelantikan: "Engkaulah menjadi tuan dari orang-orang seisi Bone, kami buatkan rumah, kami bikin kan sawah sebagai tempat penghasilan, kami buatkan kolam sebagai tempat mandi-mandi, dan kami rimbunkan hutan sebagai tempat bermain-main berburu rusa. Akan tetapi selimutilah kami, agar tidak dingin dan engkau urus kami agar tidak bercerai berai". Kemudian menjawab to Manurung berkata: "Saya sudah terima perjanjianmu hai orang Bone, saya akan menyelimutimu agar tidak dingin, saya akan menjagamu agar tidak berselisih dan walaupun ada kehendakku serta pendapatku yang tidak engkau sekalian kalian kehendaki, maka saya juga tidak akan menjalankannya". Sampailah kita menceritakan, mudah-mudahan tidak busung menceritakan tentang orang-orang dulu kita. Adapun katanya to Manurung itu tidak, sampai kita mendengar nama dirinya, hanya kita berikan gelar menurut apa yang sering diperbuatnya. Apabila ia melihat lapangan penuh dengan orang, maka ia dapat mengetahui jumlah orang yang berkumpul itu, bahwa sekian jumlah orang yang sedang berkumpul di sana. Oleh karena pengetahuannya itu, maka diberi nama saja Mata-Mata Silompoe (pandangan sekelompok). Demikianlah cerita manurungnge, dari dialah yang menurunkan keturunan yang menjadi Raja-Raja di Bone. Manurung ini sangat baik cara pemerintahannya, semua orang banyak senang padanya, panen menjadi-jadi, hewan piaraan berkembang biak, tumbuh subur tanaman buah-buahan, ditimbun saja padi diantara rumah karena tanda kemakmuran. _________________________________ 5). Cinde, semacam kain yang mirip kain batik, tetapi dengan motif berlurik-lurik dan warna-warna dasar seperti hitam, merah, coklat dan sedikit warna kebiru-biruan. 6). Lellu', adalah kain kira-kira satu setengah meter panjangnya, diberi tiang keempat sudutnya, kemudian dipayungkan kepada Raja bila dilantik atau sedang duduk dalam upacara adat, warna kuning atau putih kalau upacara adat biasa. 7). Oje', adalah salah satu atribut Bissu, dibuat dari daun lontar secara anyaman pada sebatang kayu sebesar tongkat. Bila ada upacara kegembiraan, maka oje' ini digerak-gerakkan biasanya paling sedikit tujuh batang. 8). Ana' Beccing, adalah salah satu atribut Bissu dibuat dari besi berpasang- pasangan, dibunyikan bila ada pelantikan atau permaisuri melahirkan. BIODATA PENULIS Muhammad Syahrullah. Sr, Duta Inspirasi Provinsi Sulawesi Selatan. lelaki asli keturunan Bugis Makassar yang akrab disapa Rull atau Syarh dan memiliki nama rumah Angga. Lahir di Ujung Pandang, 22 Oktober 2001. Memiliki ketertarikan terhadap dunia kepenulisan sejak duduk dibangku kelas 6 SD dan telah menulis -+ 15 Buku Antologi dan beberapa kali menjuarai Cipta Baca Puisi dan kompetisi kepenulisan sastra lainnya seperti Cipta Cerpen, Quotes, Karya Tulis Ilmiah dan Esai. Jejaknya bisa teman-teman temui di akun Instagram pribadi miliknya: @syarh.sr Makassar, 14 Februari 2022 oleh: nurfadillahPada zaman dahulu kala Sungai Miu dan Sungai Gumasa adalah dua anak sungai yang terpisah dua. Tapi, satu kejadian membuatnya bergabung menjadi satu menjadi Sungai Palu.
Alkisah, Raja Palu mempunyai seorang permaisuri dan putra bernama Bolampa. Ia menurunkan kepada Bolampa kesaktiannya. Dia juga kebal terhadap segala macam senjata. Di tengah kegembiraan keduanya membesarkan Bolampa. Permaisuri hamil lagi. Hal ini diam-diam menimbulkan kecemburuan di hati Bolampa. Karena, besar kemungkinan kasih sayang yang selama ini tercurahkan untuknya akan tidak ditujukan lagi untuknya, melainkan untuk adiknya. Pada saat bersamaan, Raja Palu menderita sakit sehingga menimbulkan meninggal dunia. Kesedihan pun mewarnai Kerajaan Palu. Termasuk permaisuri dan Bolampa. Bolampa yang hatinya masih diliputi iri dengan kehadiran adiknya, segera minggat ke Desa Sidiru, di daerah Sibolga. Di sana, dia melampiaskan dendam kepada orang-orang secara membabi buta. Karena, dia terlalu kuat, tak pelak, Bolampa membuat tewas orang-orang itu. Hal ini tentu membuat masyarakat Sidiru jengkel terhadapnya. Namun, kesaktian yang diwariskan dari ayahnya membuatnya tak bisa dibunuh dengan mudah. Bolampa heran, mengapa dia sampai bisa membunuh orang-orang. Sementara, dia sendiri tidak bisa dibunuh, bahkan kebal terhadap senjata apapun. Rasa penasaran membawanya untuk merasakan bagaimana kematian itu. Lalu, dia menyerahkan dirinya kepada orang-orang Sidiru. Orang-orang Sidiru menyambutnya dengan gembira. Namun, mereka bertanya kepada Bolampa bagaimana cara membunuh dirinya. Sedangkan, senjata yang mereka gunakan tidak mempan terhadapnya. Bolampa kemudian mengatakan, “Bunuhlah aku selepas aku menjatuhkan diri dari pohon kelapa itu.” Bolampa kemudian naik pohon kelapa dan menjatuhkan dirinya. Orang-orang Sidiru pun mengikuti arahan Bolampa. Mereka menusuk Bolampa dalam keadaan lemah. Segera saja Bolampa tewas di tangan mereka. Jenazah Bolampa kemudian dibawa ke baruga (rumah adat) Raja Sidiru. Kepala Bolampa dipenggal dan diletakkan di tiang baruga. Setelah sebelumnya diberi tanduk yang terbuat dari emas. Sewaktu anaknya meregang nyawa, ibu Bolampa yang sedang hamil tua berfirasat. Hatinya “kontak” dengan kejadian yang menimpa anaknya. Maka, dia mencari anaknya di Sidiru dan sampai di rumah Raja Sidiru. Begitu kaget dia melihat kepala Bolampa berada di tiang baruga. Dipanggillah Raja Sidiru sambil ngoceh-ngoceh tak karuan. Raja Sidiru pun membunuhnya. Kemudian, jenazahnya disimpan di peti mati kayu. Beberapa hari berikutnya, bayi yang dikandung permaisuri Palu lahir. [Baca kumpulan cerita rakyat Nusantara lainnya] Bayi itu diambil oleh Raja Sidiru dan diserahkan kepada orang tua yang belum dikaruniai anak untuk dirawat. Orang tua itu senang mendapat anak dari Raja Sidiru. Mereka merawat dan mendidik anak titipan itu dengan baik dan memberinya nama Tuvunjagu. Tapi, dasar keturunan Bolampa, anak itu punya kekuatan dan sifat yang sama. Setelah dewasa, Tuvunjagu sering membunuh teman-temannya. Kedua orang tua yang makin renta itu lalu menceritakan semuanya oerihal asal-usul Tuvunjagu. Dipanggilnya Tuvunjagu untuk diceritakan asal-usulnya. “Nak, kemarilah. Bapa mau cerita sesuatu kepada kau.” “Ada apa Bapa?” “Itu kau pernah lihat tengkorak yang terpancang di tiang baruga Raja Sidiru?” “Ya, pernah Bapa.” “Itu adalah abang kau.” Dan diceritakan secara rinci mengenai Bolampa, ibunya, dan Tuvunjagu sendiri. “Oh, jadi yang membunuh ibu dan kakakku adalah Raja Sidiru?” tanya Tuvunjagu dengan penuh dendam. Dendam kesumat pun bergumul di hati Tuvunjagu. 9 tahun berikutnya… Raja Siddiru mengadakan pesta. Kesempatan ini tidak disia-siakan Tuvunjagu. Dia datang ke pesta itu dan mengajak putri semata wayang Raja Sidiru menari raego. Beberapa saat menari, tiba-tiba Tuvunjagu menarik parangnya dan menebas leher putri Raja Sidiru sampai pisah dari badannya. Tuvunjagu pun mengambil kepala itu dan berlari dengan cepat ke Palu. Sesampainya di Palu dia menancapkan kepala putri Raja Sidiru di tiang baruga Palu. Hal ini dilakukan sebagai pembalasan dendamnya. Raja Sidiru segera mengumpulkan orang-orangnya untuk membalas dendam. Namun, seorang penasihat memberikan saran yang lebih bijaksana. “Dulu, ketika Bolampa dan ibunya kita bunuh, tidak ada orang Palu yang datang ke Sidiru. Lebih baik kita buat jarak saja dengan Palu supaya Tuvunjagu tidak datang ke sini lagi supaya tidak terjadi pertumpahan darah yang lebih besar.” “Bagaimana caranya?” tanya Raja Sidiru. “Dengan menyatukan Sungai Mui dan Sungai Gumasa.” Usul ini diterima Raja Sidiru yang langsung memerintahkan rakyat untuk menyatukan kedua sungai itu. Setelah beberapa bulan bekerja, akhirnya kedua sungai itu menyatu. Tuvunjagu pun tak pernah kembali lagi ke Sidiru. Kini, kita mengenalnya dengan nama Sungai Palu. Demikian, cerita rakyat Sulawesi tentang asal-usul Sungai Palu. oleh: nurfadillahKisah Tiga Tadulako Asal Bulili – Cerita Rakyat Sulawesi Tengah
Sebutan untuk pendekar di Sulawesi Tengah adalah tadulako, yang berarti panglima perang. Kisah dari Sulawesi Tengah ini bercerita tentang tiga orang tadulako yang hidup di Desa Bulili. Mereka adalah orang-orang yang sangat kuat tiada bandingannya. Tiga orang tadulako itu bernama Bantili, Molove, dan Makeku. Tidak ada tadulako lainnya yang mampu menandingi kesaktian tadulako dari Bulili ini. Berkat para tadulako tersebut, Desa Bulili menjadi aman. Semua orang akan gentar jika mendengar nama ketiga tadulako itu. Suatu hari, Desa Bulili kedatangan seorang raja dari Sigi. Ketika sedang berjalan-jalan, sang raja berjumpa dengan seorang gadis cantik asal Bulili. Raja Sigi pun kemudian meminang gadis cantik itu. Mereke menikah dan tinggal di Bulili. Berbulan-bulan sudah Raja Sigi tinggal di Desa Bulili. Istrinya pun kemudian mengandung. Namun, ketika sang istri ingin dimanja dan disayang oleh suaminya, Raja Sigi malah mengutarakan keinginannya untuk kembali ke Sigi. “Adinda, aku harus kembali ke Sigi. Sudah cukup lama aku meninggalkan Sigi. Banyak urusan yang belum terselesaikan di sana,” ucap Raja Sigi. Haruskah Kakanda pergi? Tidakkah Kakanda akan merasa kehilanganku dan kehilangan anak kita?” bujuk istrinya. “Rakyat Sigi membutuhkanku, Dinda. Aku harap Dinda bisa mengerti,” kata Raja Sigi lagi. “Aku dan anak dalam kandunganku ini juga membutuhkanmu, Kanda. Apakah Kanda tidak ingin menyaksikan anak kita ini lahir ke dunia?” tanya sang istri. Bukan begitu, Dinda. Kanda yakin Dinda adalah wanita yang sangat kuat. Jadi, tunggulah kanda di sini,” ucap Raja Sigi. Keesokan harinya, Raja Sigi kembali ke negerinya. Istrinya tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak mampu menahan suaminya agar tidak pergi. Tinggallah ia di Bulili tanpa suami. Namun, ia tidak seorang diri, beberapa kerabatnya tinggal tak jauh dari rumahnya. Tetangga dan sahabat-sahabatnya dengan senang hati menemaninya siang dan malam. Bulan demi bulan ia lalui. Tanpa terasa, tibalah waktu untuk melahirkan buah hatinya. Tanpa ditemani sang suami, ia melahirkan seorang bayi yang lucu dan sehat. Semua warga Bulili ikut berbahagia menyambut kehadiran makhluk mungil itu sebagai warga baru mereka. Para pemuka desa pun mengutus dua orang tadulako yang gagah pergi ke Sigi untuk menemui Raja Sigi. Berangkatlah Makeku dan Bantili ke Sigi mengemban tugas yang diberikan pada mereka Sesampainya di sana, mereka langsung menemui sang raja. Namun sayangnya, bukan keramahan yang mereka dapatkan, tapi justru ucapan tidak bersahabat yang keluar dari Raja Sigi. “Apa maksud kalian datang ke istanaku?” tanya Raja Sigi dengan sinis. “Maaf, Baginda. Kami diutus untuk meminta padi di lumbung Sigi. Padi itu untuk anak Baginda yang baru saja lahir,” jawab Bantili. Mendengar berita itu, Raja Sigi bukannya merasa senang, tetapi malah melecehkan kedua tadulako sakti itu. “Baiklah. Jika kalian menginginkan lumbung padi milikku, coba kalian angkat dan bawalah lumbung padi itu. Cukup kalian tahu, dengan puluhan orang saja baru bisa menggeser lumbung itu,” ucap Raja Sigi dengan angkuh. Ia pikir kedua tadulako pasti tidak akan sanggup membawa lumbung itu. Merasa diremehkan, Makeku dan Bantili segera pergi menuju ke arah lumbung padi Raja Sigi. Dengan kesaktiannya, Bantili mampu mengangkat lumbung padi yang besar itu, sedangkan Makeku mengawal Bantili dari belakang. Betapa terkejut dan marahnya raja Sigi menyaksikan lumbung padinya yang besar berhasil dibawa oleh kedua tadulako. Akhirnya, sang raja mengerahkan para pengawal kerajaan untuk menangkap dua tadulako itu. “Para pengawal, cepat tangkap orang-orang Bulili itu!” teriak Raja Sigi. Dengan sigap, para pengawal mengejar Makeku dan Bantili. Meskipun tenaga telah dikerahkan, mereka tetap tidak mampu mengejar kedua tadulako dari Bulili itu. Sampai akhirnya, tibalah Makeku dan Bantili di sebuah sungai yang sangat besar dan dalam. Para pengawal tampak senang, mereka mengira kedua tadulako itu pasti akan menyerah. Namun, ternyata dugaan mereka meleset, kedua tadulako sakti itu berhasil menyeberangi sungai dengan mudah. Meskipun Bantili membawa lumbung padi yang sangat besar, bukanlah hal yang sulit baginya untuk menyeberangi sungai. Para pengawal kerajaan yang menyaksikan hal itu hanya bisa terperangah. Mereka tidak mampu menyebarangi sungai yang lebar dan dalam seperti yang dilakukan tadulako sakti. Dengan kesaktiannya itu, Makeku dan Bantili bisa lolos dari kejaran para pengawal Raja Sigi. Mereka pun melanjutkan perjalan pulang dan akhirnya sampai kembali ke Desa Bulili dengan selamat. Sedangkan Raja Sigi menderita kerugian yang besar, karena lumbung padi kerajaannya telah dibawa ke Bulili.sangat besar, bukanlah hal yang sulit baginya untuk menyeberangi sungai. Para pengawal kerajaan yang menyaksikan hal itu hanya bisa terperangah. Mereka tidak mampu menyebarangi sungai yang lebar dan dalam seperti yang dilakukan tadulako sakti. Dengan kesaktiannya itu, Makeku dan Bantili bisa lolos dari kejaran para pengawal Raja Sigi. Mereka pun melanjutkan perjalan pulang dan akhirnya sampai kembali ke Desa Bulili dengan selamat. Sedangkan Raja Sigi menderita kerugian yang besar, karena lumbung padi kerajaannya telah dibawa ke Bulili. Pesan moral: Tepatilah janji yang sudah diucapkan. Selain itu, janganlah menjadi pemimpin yang angkuh dan sombong. Oleh: NurfadillahImpalak adalah seorang anak yang tinggal di sebuah kampung pesisir Sulawesi Tengah. La tinggal bersama ayahnya yang bernama Intobu. Mereka hidup sangat miskin. Sehari-hari, Impalak membantu ayahnya menangkap ikan di laut dengan menggunakan perahu.
Intobu selalu mengajarkan Impalak untuk bekerja keras dan pantang menyerah. Saat mereka mencari ikan, terkadang cuaca buruk menghadang mereka, tetapi Intobu mengajarkan Impalak agar tidak mudah menyerah. Kondisi kehidupan mereka yang miskin membuat Impalak jenuh dan timbul keinginannya untuk merantau. Namun, berulang kali ia merasa tak tega meninggalkan ayahnya yang sudah tua renta. “Ayah, aku ingin merantau untuk mernperbaiki kehidupan kita ini.” Kata Impalak. Intobu sangat berat membiarkan anaknya pergi. Namun, melihat kesungguhan Impalak, akhirnya Intobu mengizinkannya. Impalak sangat gembira. La memutuskan untuk segera berangkat dengan menggunakan perahu bagga (layar). Tahun demi tahun berlalu, Impalak belum juga kembali ke kampungnya. Ternyata, ia telah berhasil di perantauan dan menjadi orang kaya raya. La sudah menikah dengan seorang putri dari seorang saudagar kaya. Suatu hari ketika Intobu sedang mengail ikan di pelabuhan dengan menggunakan sampan. Intobu melihat sebuah bagga yang sedang menuju pelabuhan. Saat perahu itu melintas di dekatnya, ia melihat Impalak, anaknya, dan seorang perempuan cantik. Betapa bahagia Intobu. La segera mendayung perahunya mendekati kapal tersebut. Intobu memanggil-manggil anaknya dengan penuh kegembiraan, “Impalak! Impalak, Anakku!” teriaknya. Impalak menoleh dan menyadari yang memanggil itu adalah ayahnya, tetapi ia pura-pura tidak tahu, karena malu kepada istrinya. Sementara itu, Intobu terus memanggil dari sampannya. Kak, sepertinya orangtua di sampan itu memanggil namamu. Apakah ia ayahmu?” tanya istri Impalak. Impalak tertawa mengejek, “Dinda, manalah mungkin ayahku seperti itu!” katanya kepada sang istri. Sementara itu, Intobu terus mendayung sampannya mengejar bagga milik Impalak sambil terus berteriak memanggil anaknya. Tiba-tiba angin kencang bertiup dan membuat sampan Intobu terombang-ambing tak terkendali. “Impalak tolong aku!” teriak Intobu meminta tolong ketika sampannya tak terkendali. Impalak justru tertawa mengejek menyaksikan ayahnya terombang-ambing oleh gulungan badai. “Rasakan kau!” ejek Impalak. Intobu yang tua renta sangat kecewa diperlakukan seperti itu oleh anak kandungnya. Lalu, ia mengeluarkan kutukan kepada anaknya itu, “Kukutuk kau, Impalak dan perahu bagga yang kau turnpangi menjadi batu!’” Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang, ombak besar menggulung menghantam perahu Impalak dan mengempasnya ke pesisir pantai. Sekejap saja perahu bagga dan Impalak berubah menjadi batu. Hingga kini masyarakat menyebut batu tersebut sebagai Batu Bagga. Pesan moral dari Cerita Rakyat Sulawesi Tengah : Asal Usul Batu Bagga adalah kita harus selalu menghargai dan menyayangi orangtua kita. Tuhan akan memberikan hukuman setimpal jika kita durhaka kepada orangtua. Dan Tuhan juga akan memberikan kita kebahagiaan dan kesuksesan jika kita berbakti pada orang tua kita. Amuntai adalah ibukota dari Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan. Kota yang berjuluk kota Bertaqwa ini memiliki 10 kecamatan.
Diolah dari berbagai sumber penulis mencoba merangkum asal usul Kota Amuntai. Konon berdasarkan penuturan orang tua dulu kata Amuntai berasal dari kata buah ‘Muntai’ yang banyak tumbuh di pinggiran sungai. Namun hingga sekarang orang masih belum menemui bentuk buah tersebut. Disisi lain jika kita menelaah dari surat keputusan Sultan Adam Al-Wasyikbillah tertanggal 20 rabiul awwal 1263, disana sudah disebutkan Kota Amuntai, Babirik (kecamatan), Sungai Karias, Tanah Habang, Kusambi, Lampihong, Halabio (Alabio sekarang), Bitin, Danau Panggang, Paran, dan Balangan. Dari sudut cerita lainnya, melalui buku A Journey To Banua Lima in the year 1825 karya M. Halaweijn, seorang pejabat tinggi Belanda menyebutkan bahwa Perjalanan naik perahunya dari Marabahan menyusuri sungai nagara, sungai banar, ia melihat perkampungan yang asri dan indah bernama Amuntai. Sumber : Diolah dari berbagai sumber BIODATA Penulis bernama lengkap Bahriannor merupakan Duta Inspirasi Kalimantan Selatan. Saat ini penulis aktif sebagai konten kreator di media sosial. Penulis memiliki hobi bermain badminton dna futsal. Penulis dapat dihubungi melalui instagramnya @rian.enj |
Details
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. Archives
May 2022
Categories |