![]() Masalah perburuan paus di era modern ini merupakan salah satu masalah penting yang berkaitan dengan isu lingkungan karena mengancam eksistensi mamalia laut tersebut. Pasalnya, kegiatan berburu paus secara terus menurus berakibat pada depopulasi paus, sehingga membuatnya masuk dalam status terancam punah. Perburuan paus ini juga kadang tidak dilakukan secara illegal atau sembunyi - sembunyi, melainkan didukung oleh pemerintah suatu negara. Misalnya, baru – baru ini Jepang sempat dikecam oleh dunia internasional karena melegalkan kembali perburuan paus di negaranya yang sempat dihentikan sejak tahun 80an. Saat ini hanya tersisa sekitar 75.000 jenis paus yang ada dimuka bumi, sedangkan data dari International Whaling Commission (IWC) menunjukan bahwa lebih dari 1000 paus dibunuh setiap tahun dengan berbagai macam kepentingan. Di Indonesia sendiri, tradisi perburuan paus juga dilakukan oleh masyarakat Desa Lamelera dan hal ini tentu menimbulkan suatu pertanyaan, apakah perlu pelarangan perburuan paus di negara kita? Esensi berburu paus di Lamalera Perburuan paus di Lamalera telah berlangsung selama ratusan tahun seperti yang dilakukan oleh Jepang atau Norwegia dan Islandia. Namun berbeda dengan negara – negara tersebut yang membunuh paus untuk kepentingan komersial semata, penduduk Lamalera memiliki alasan yang lebih mendasar dalam berburu paus, yakni untuk bertahan hidup. Dalam pelaksanaannya, tidak semua jenis paus menjadi target perburuan melainkan hanya paus sperma (Physeter macrochepalus) yang bermigrasi dari Australia ke daerah panas melintasi laut Flores untuk mencari makan dan berkembang biak. Hasil berburu paus ini biasanya akan di bagi ke seluruh warga desa secara merata dan dagingnya bisa dijadikan sebagai stok makanan selama beberapa bulan ke depan. Selain itu, kelebihan dagingnya juga akan dibarter dengan barang – barang pokok lainnya di pasar – pasar tradisional. Bagian bagian lainnya seperti minyak paus diolah oleh penduduk sekitar sebagai bahan bakar lampu buat pelita di malam hari, atau tulang tulangnya dimanfaatkan menjadi aksesoris seperti gelang , kalung, cincin, dan lain lain untuk menjadi cenderamata. Ekobudaya dan kearifan lokal Terdapat alasan mengapa masyarakat lamelera selektif dalam melakukan perburuan. Yang pertama, paus biru (Balaenoptera musculus) sangat dilarang untuk diburu karena terdapat sebuah legenda yang mengatakan bahwa hewan itu pernah menolong sebuah keluarga di desa tersebut, sehingga sampai sekarang mereka masih meyakini bahwa paus biru merupakan bagian dari mereka. Yang kedua, paus sperma yang diburu bukanlah yang sedang dalam masa kehamilan, atau paus yang masih muda, melainkan yang sudah dewasa. Dan yang terakhir, paus yang ditangkap hanya berjumlah satu atau dua ekor, tergantung dari kebutuhan atau jumlah penduduk yang ada di desa tersebut. Masyarakat Lamalera percaya bahwa jika mereka melanggar aturan – aturan ini, maka bencana akan menimpa desa mereka. Menentukan jenis, ukuran, dan kondisi paus yang akan diburu di laut terbuka bukanlah suatu hal yang mudah. Untuk itu, masyarakat Lamalera secara adat memilih lamafa, seseorang yang menjadi juru tombak paus. Dalam berburu, si lamafa akan berada di laut dan melihat serta menentukan secara cermat apakah paus tersebut layak diburu atau tidak, lalu memimpin perburuan. Karena ini merupakan tanggung jawab yang besar, maka seorang lamafa yang dipilih biasanya tangguh, berwibawa, sopan, dan pemberani karena nasib desa bergantung pada kemampuannya. Mekanisme perburuan dan keterkaitan dengan ekosistem Perburuan paus di desa Lamalera tergolong ramah lingkungan, namun terbilang cukup berani dan menantang. Pasalnya, senjata yang digunakan untuk berburu hanyalah menggunakan tempuling, sebuah tombak kayu sepanjang empat meter dengan dan mata tombak berupa baja. Selain itu, jenis perahu yang digunakan adalah perahu tradisional kecil tanpa mesin yang disebut peledang, yang hanya bisa menampung 9 – 15 orang pria dewasa. Ketika berlayar untuk berburu, sang pemegang tombak (lamafa) berdiri di ujung peledang dan akan melompat menyerang paus dengan tombak kearah kepalanya. Setelahnya, para pemburu lainnya juga akan membantu menjatuhkan paus dengan tombak dan tali. Kemudian di akhir perburuan, hewan tersebut akan dibopong ke darat dan akan dipergunakan untuk berbagai keperluan. Lamafa berburu paus (Sumber: https://www.beritasatu.com/) Jika ditinjau pengaruhnya terhadap ekosistem, maka hal ini tergolong ramah lingkungan karena masih menggunakan peralatan tradisional yang tidak berdampak banyak ke sekitarnya. Kemudian, dengan pelaksanaan perburuan yang hanya dilakukan pada musim panas atau migrasi paus pada bulan Mei sampai November, serta dengan jumlah perburuan yang sedikit untuk keperluan desa dalam setahun tidaklah membuat keseimbangan ekosistem terganggu. Lain ceritanya jika ritual ini dilakukan untuk kepentingan jual beli secara besar - besaran atau hanya sekadar digunakan sebagai sarana hiburan semata. Dimana kaki kita harus berdiri? Mendengar kegiatan perburuan hewan tentu mengganggu psikologis kemanusiaan kita. Namun, hal ini merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh masyarakat Lamalera untuk bertahan hidup selama 500 tahun terakhir karena mereka tidak memiliki lahan yang subur untuk bercocok tanam. Di lain pihak, aktivitas yang dibuka dengan ritual dan doa merupakan bentuk penghargaan masyarakat Lamera kepada hewan dan alam, karena mereka percaya bahwa alam (laut) selalu menyediakan bagi mereka sehingga mereka tidak mengambil secara rakus sesuatu dari alam. Oleh alasan tersebut, tentulah tidak berlebihan jika kita menganggap bahwa perburuan paus ini merupakan bagian dari khazanah budaya bangsa. Dan mungkin, batas tipis perbedaan antara perburuan paus di Indonesia dengan negara negara lain di dunia hanya terletak pada satu istilah: “cukup”. Walaupun demikian, jumlah penurunan jumlah paus setiap tahun akibat perburuan secara liar dan/ masif ini adalah nyata adanya. Sebanyak 503 ekor paus dibunuh di Norwegia pada tahun 2020, diikuti oleh Jepang (2019) dan Islandia (2018) sebanyak 331 ekor dan 146 ekor secara berurutan . Perburuan dalam skala besar ini tujuannya adalah untuk diperdagangkan dan sejauh ini PBB, ICW, Greenpeace, badan organisasi dunia lainnya terus menerus bekerja sama untuk melindungi paus dengan membuat moratorium perburuan paus, kampanye, dan membangun balai konservasi. Selain perburuan, faktor lain yang sangat berpengaruh pada keberlangsungan hidup paus adalah keberadaan sampah plastik di laut. Dalam beberapa tahun terakhir, negara kita sendiri sudah menemukan beberapa paus yang mati terdampar dengan kondisi banyak sampah di perut mereka, sebagai akibat dari kelalaian kita yang masih belum paham tentang pentingnya pengelolaan sampah secara bijak. Padahal dalam relung ekologi, paus mengambil beberapa peran vital untuk menyehatkan lingkungan air sekitarnya, juga secara pasif melawan pemanasan global, menjaga persediaan ikan di laut, serta secara tidak langsung berperan dalam penyediaan oksigen dengan membawa nutrient bagi fitoplanton. Dengan demikian disinilah tugas kita untuk melindungi mereka dengan tidak membuang sampah sembarangan apalagi jika pemukiman kita memiliki laut. Supaya sampah dan limbah tersebut tidak terbawa ke laut, dikonsumsi oleh biota laut, termasuk paus dan membahayakan mereka. Mari kita bersama – sama menjaga keseimbangan alam, budaya, lingkungan, dan juga kehidupan sosial yang ada agar tercipta keharmonisan di setiap tingkat kehidupan. Referensi: https://akurat.co/uniknya-tradisi-perburuan-paus-di-desa-lamalera-ntt https://daerah.sindonews.com/berita/1428464/174/tradisi-perburuan-paus-di-lembata https://uk.whales.org/2020/10/27/why-we-need-to-expose-the-lies-and-stop-norwegian-whaling/ https://news.mongabay.com/2020/04/iceland-wont-be-killing-any-whales-this-year/ https://www.worldwildlife.org/species/whale
0 Comments
Leave a Reply. |
Details
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. Archives
August 2023
Categories |