Memasuki dunia perkuliahan dan menyandang status mahasiswa merupakan suatu pencapaian yang berharga bagi seorang siswa. Mahasiswa merupakan pelajar tertinggi atau Seseorang yang sedang menempuh pendidikan di suatu universitas yang pola pikirnya lebih matang.
Banyak yang bilang masa-masa menjadi seorang siswa sangatlah menyenangkan terlebih momen-momen saat SMA,setelah lulus kita akan dihadapkan berbagai pilihan hidup seperti bekerja atau kuliah. Jika memilih untuk kuliah, jangan pernah mengira bahwa kuliah begitu mudah dan santai bagaikan tidak ada beban seperti di sinetron-sinetron,disini kita akan menemukan tantangan hidup yang lebih besar. Menjadi seorang mahasiswa merupakan suatu kebanggaan yang harus disyukuri karena banyak dari kita yang tidak dapat merasakan itu karena faktor ekonomi, maka dari itu segala kesempatan ini harus dipergunakan sebaik-baiknya. Peralihan dari siswa menjadi mahasiswa memerlukan proses adaptasi karena pembelajar dan pertemanan di sekolah dengan di perguruan tinggi sama sekali berbeda. Mahasiswa diharapkan mampu merubah kebiasaan lama saat menjadi seorang siswa, karena sering kali sikap siswa masih terbawah pada fase awal perkuliahan, padahal kebiasaan dan tanggung jawab antara siswa dan mahasiswa jelas berbeda. Oleh karena itu, ada beberapa perbedaan diantaranya: 1. Mata pembelajaran, Saat menjadi seorang siswa, semua mata pelajaran telah dikelola oleh sekolah dan para siswa wajib mengikuti mata pelajaran tersebut. Sedangkan di perkuliahan, mahasiswa diberi keleluasaan untuk menentukan sendiri mata kuliah yang ingin diambilnya di setiap semester, dunia perkuliahan menerapkan sistem kredit semester (SKS). Setiap kredit semester ini akan menentukan jam tatap muka, mengulang materi, dan lain-lain. 2. Sistem pembelajaran, Sistem belajar saat menjadi seorang siswa memiliki aturan masuk jam 7 dan pulang pukul 2 siang dalam waktu 5 atau 6 hari dalam seminggu dan guru cenderung aktif dalam proses pembelajaran dan memberikan perhatian lebih kepada siswanya, baik saat mengabsen, memberikan tugas, ujian, remidi, dan lain sebagainya, berbeda halnya dengan mahasiswa, sistem belajar di perkuliahan cenderung lebih fleksibel dan tidak tetap layaknya siswa. Setiap jurusan dan kelas memiliki jam masuk dan mata kuliah yang berbeda-beda. Dalam sehari, jam masuk kuliahnya juga tidak menentu, dan mahasiswa lebih aktif dalam perkuliahan biasanya dosen hanya menjelaskan secara singkat tentang point-point materi, jika mahasiswa tidak melakukan absen, mengikuti ujian, atau mengumpulkan tugas, maka dosen tidak akan terlalu peduli dengan ketidakdisiplinan tersebut. Segala konsekuensinya akan ditanggung oleh mahasiswa. 3. Memanajemen waktu Kebanyakan masalah mahasiswa di perguruan tinggi adalah pengaturan waktu. Sebab bila belajar di sekolah segala mata pelajaran dan kurikulum sudah teratur rapi oleh pihak pengajar. Sementara untuk belajar di perguruan tinggi kamu diharuskan mengatur sendiri dalam mengambil mata kuliah di setiap semester. Terlebih lagi saat mengikuti banyak kegiatan atau organisasi-organisasi, disitu kita harus pintar-pintar dalam mengatur waktu dengan baik antara kuliah maupun organisasi agar satu diantaranya tidak terabaikan. 4. Lingkungan pertemanan Pertemanan semasa SMA dan perkuliahan jelaslah berbeda. Selama kuliah kita harus pandai-pandai membatasi pergaulan harus selektif dalam bergaul karena toxic friendship itu nyata dan lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan diri jika kita berada pada pertemanan yang tepat kita akan lebih dihargai dan dapat memberi dampak positif terhadap diri kita. “Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak” (HR. Bukhari no. 2101, dari Abu Musa). sumber : Elni, Mahasiswa Teknik Sipil
1 Comment
Hallo Sobat WebLy, tahukah kalian bahwa Kehidupan berdemokrasi di suatu negara salah satunya ditentukan oleh seberapa besar partisipasi politik dari masyarakatnya? Ya, Partisipasi itu akan tampak ketika masyarakat ikut terlibat secara aktif dalam kehidupan berpolitik. Contohnya, ketika pemilihan presiden, kepala daerah, atau saat memilih wakil-wakil mereka yang akan duduk di kursi parlemen, baik di pusat maupun di daerah.
Menurut pakar ilmu politik, mendiang Miriam Budiardjo dalam bukunya Partisipasi dan Partai Politik, tinggi atau rendahnya partisipasi politik di masyarakat menjadi indikator penting bagaimana perkembangan berdemokrasi di negara tersebut. Semakin tinggi tingkat partisipasi politik masyarakatnya, maka itu menunjukkan bahwa mereka peduli terhadap perkembangan politik di negara mereka. Sebaliknya, semakin rendah angka partisipasi politik masyarakat di suatu negara menjadi pertanda kurang baik. Dalam proses berdemokrasi tadi, terdapat kelompok-kelompok di masyarakat yang akan ikut mempengaruhi tinggi-rendahnya tingkat partisipasi politik. Salah satunya adalah anak-anak muda. Mereka adalah kelompok masyarakat yang menurut Pasal 1 Undang-Undang nomor 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan didefinisikan sebagai warga negara Indonesia dalam rentang usia 16 hingga 30 tahun. Dalam perkembangannya, mereka kemudian disebut sebagai Generasi Z dan Generasi Milenial. Badan Pusat Statistik mendefinisikan Generasi Z sebagai penduduk Indonesia yang lahir dalam rentang tahun 1997-2012 dan Generasi Milenial adalah mereka yang lahir antara 1981 hingga 1996. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2020, dari 270,2 juta jiwa populasi Indonesia saat ini, sebanyak 53,81 persen di antaranya merupakan gabungan dari kedua generasi di atas tadi. Rinciannya sebanyak 27,94 persen diisi oleh Generasi Z dan 25,87 persen lainnya masuk dalam kategori Generasi Milenial. “Kedua generasi ini termasuk dalam usia produktif yang dapat menjadi peluang untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi,” kata Kepala BPS Kecuk Suhariyanto, ketika memberikan keterangan pers mengenai hasil Sensus Penduduk 2020 di Jakarta, (21/1/2021). Menurut Hasanuddin Ali dari Alvara Research, tipikal Generasi Z menuntut kehadiran internet nyaris di sepanjang kesehariannya. Ketergantungan mereka terhadap internet bahkan menyentuh angka 93,9 persen atau biasa disebut sebagai mobile generation. Generasi ini kehidupannya lebih banyak diwarnai dengan keceriaan (cheerful). Sedangkan Generasi Milenial memiliki ketergantungan dengan internet sekitar 88,4 persen dan dalam kehidupannya masih berjuang untuk meniti karier. Demikian diungkapnya saat menjadi pembicara dalam diskusi daring bertema “Politik Digital, Pendidikan Politik, dan Partisipasi Politik Bagi Generasi Muda" yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informasi di Jakarta, Sabtu (17/4/2021). Dalam dunia politik, kata Hasanuddin, anak-anak muda tadi merupakan aset berharga dan menjadi incaran partai-partai politik. Ini lantaran Generasi Z dan Generasi Milenial merupakan kekuatan tersendiri yang harus direbut suaranya di dalam kontestasi pemilihan, baik pemilihan pemimpin negara, kepala daerah, atau saat memilih wakil rakyat. Pengaruh Media Sosial Penetrasi internet di Indonesia saat ini telah menjangkau 196,7 juta penduduk berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Kondisi ini membuat partai-partai politik berlomba-lomba menceburkan diri membangun kekuatan baru di ranah digital. Mereka kemudian masuk ke berbagai platform media sosial yang ada demi mendapatkan simpati anak-anak muda melek teknologi. Pemanfaatan platform media sosial untuk kepentingan politik telah dirasakan manfaatnya oleh Hillary Brigitta Lasut. Anggota DPR RI termuda ini memakai berbagai platform media sosial sebagai wadah berkampanye dalam Pemilihan Legislatif 2019. Selain lebih murah, kehadiran media sosial, menurut wakil rakyat daerah pemilihan Sulawesi Utara itu, mampu menjangkau jauh lebih banyak pemilih muda. Ia sendiri saat itu mampu meraup 70.345 suara untuk mengantarkannya ke Senayan. "Saya merasakan benar pengaruh media sosial ketika berkampanye. Melalui media sosial pula saya bisa berinteraksi secara cepat dengan masyarakat, termasuk para konstituen saya. Kita bisa langsung mengetahui persoalan yang terjadi pada daerah pemilihan di Sulawesi Utara," kata wakil rakyat yang lahir 22 Mei 1996 tersebut. Brigitta juga mengakui pada saat pandemi seperti sekarang keberadaan media sosial pun sangat diperlukan untuk berinteraksi dengan banyak orang, bahkan dalam sekali waktu. Teknologi digital juga telah memudahkan partai politik dalam menjangkau para kader-kadernya di seluruh negeri. "Di partai kami, nyaris semua urusan kepartaian bisa dilakukan dengan teknologi digital, termasuk mengurus dan mencetak kartu anggota partai secara online. Sehingga orang-orang tidak perlu mendatangi kantor partai setiap saat hanya untuk mengurusnya," katanya dalam forum yang sama. Di mata Komisioner KPI Pusat Yuliandre Darwis, kehadiran media sosial untuk meraih suara anak-anak muda untuk ikut berpartisipasi di dunia politik merupakan hal yang wajar di era teknologi digital. Doktor bidang komunikasi massa ini menyebutkan, ada yang harus diperhatikan oleh anak-anak muda saat ingin menyampaikan aspirasi politiknya di media sosial. Belajar dari kasus bertebarannya informasi berupa berita bohong (hoaks) dalam Pemilihan Umum 2019, Yuliandre menyebut, sangat diperlukan kehati-hatian dan langkah bijak dari Generasi Z dan Milenial. "Banyak bertebaran informasi tak benar ketika Pemilu 2019, mulai dari berita bohong, hasutan, ujaran kebencian, dan lainnya. Diperlukan kesantunan di dalam berpolitik di media sosial terutama bagi anak-anak muda. Saring dulu sebelum sharing dan lakukan tabbayun, mengecek terlebih dulu kebenaran suatu informasi," katanya. Oleh karena itu, kendalikan jempolmu sebelum menyebarkan suatu informasi ke media sosial. Nah, gimana Sobat WebLy keren banget kan Artikel kali ini? Makanya pantengin terus Website Duta Inspirasi Library untuk mendapatkan informasi yang menarik dari MinLy si paling cakepp 😎 Seorang anak sulung yang menjadi tulang punggung sebuah keluarga ketika orang tuanya sudah tidak sanggup lagi untuk bekerja tetapi tanggunggannya bukan hanya untuk orang tua melainkan terdapat anak dan istri yang harus di tanggung dan dipenuhi segala kebutuhan dan keinginannya (Sandwich Generation).
Sandwich generation adalah istilah untuk menyebut generasi atau individu yang harus menanggung kehidupan dan beban finansial tiga generasi sekaligus. Seperti bentuk sandwich atau roti lapis, ada roti di bagian atas dan bawah lalu di tengahnya berisi isian roti. Nah, generasi roti lapis ini kurang lebih seperti sandwich. Individu yang menanggung beban finansial keluarganya berada di bagian tengah atau isian rotinya. Dibalik istilah yang terdengar lucu tersebut rupanya tersimpan arti yang cukup mendalam. berikut ini adalah beberapa hal yang bisa Sobat WebLy identifikasi dari generasi roti lapis. -Orang dewasa yang berusia 40-50 tahun, atau disebut dengan traditional sandwich generation. Generasi ini masih menanggung kebutuhan orang tua yang sudah berusia lanjut namun anak-anaknya juga masih membutuhkan bantuan finansial. -Kemudian orang dewasa berusia 30-60 tahun, yang memiliki julukan club sandwich generation. Mereka yang ada di siklus ini apabila sudah menikah akan menanggung kebutuhan keluarganya sendiri, kebutuhan orang tua, bahkan hingga kakek dan nenek serta cucu-cucunya ada banyak generasi yang tertanggung. -Ciri-ciri berikutnya adalah mereka yang terlibat dalam merawat lansia. Nah, mereka ini sudah menikah namun harus menanggung semua kebutuhan orang tua dan juga saudara kandungnya. Secara umum, ada beberapa penyebab generasi sandwich. Meskipun hal tersebut bisa Sobat WebLy hentikan siklusnya, potensi keadaan yang cukup toksik ini juga bisa berlanjut apabila tidak dicari jalan keluarnya dengan segera. Berikut ini adalah beberapa hal yang menyebabkan generasi roti lapis ini muncul. 1. Orang tua atau generasi di atas kamu belum melek finansial. 2. Tidak ada dana pensiun yang disiapkan oleh orang tua. 3. Gaya hidup yang tinggi sedangkan penghasilan menurun. Apabila sobat WebLy berada di posisi individu yang harus menanggung hidup orang tua dan anak, tentu bekerja saja tidak cukup. Selain berdamai dengan keadaan dan diri sendiri, kamu harus memiliki keuangan yang sehat. Seperti penjelasan singkat di atas, komunikasi antaranggota keluarga juga harus sehat dan terbuka. Nantinya, kamu dan keluarga yang kamu tanggung harus disiplin dengan budget yang sudah disepakati – mengingat menjadi pemeran di generasi roti lapis ini seringkali tidak menanggung masalah finansial saja. Kita sebagai seorang anak memang harus memperhatikan orang tua sebagai orang yang telah berjasa didunia tetapi menanggung seluruh kebutuhan orang tua bukanlah kewajiban anak yang harus dipaksakan. Ketika kita sedang mengalami penurunan kondisi baik dari perekonomian maupun hal lainnya apalagi saat kita sudah memiliki tannggungan entah itu anak maupun istri, kita boleh kok mengkomunikasikan dengan orang tua tentang apa yang sedang kita alami dan rasakan. Nah, seru banget kan pembahasan MinLy kali ini ? Makanya pantengin terus Website Duta Inspirasi Library untuk mendapatkan informasi yang menarik. sumber: blogger Dian |
Details
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. Archives
August 2023
Categories |