"Ra, lo jangan sembarang dong ambil kain-kain di rumah ini, nanti kita dibilang nyuri lagi terus kita diusir malam-malam gini. Kan nggak seru," seruku pada Dera yang baru saja duduk di tepi kasur sembari membawa selendang yang baru saja diambilnya dari dalam lemari pemilik rumah ini.
Keningku berkerut saat Dera justru tertawa terbahak. "Gue cuma pinjem, Na. Cuma mau buat foto aja. Liat deh bagus banget, ih," jawab Dera mengibas-ibaskan selendang itu ke udara. "Ya udah tapi jangan sampai robek dan kalau udah selesai balikin lagi ke tempatnya. Tapi lo emang nggak ngantuk, Ra? Ini udah hampir jam sepuluh," cecar Jingga seraya menatap jam di pergelangan tangannya. "Gue belum ngantuk, kalau kalian mau tidur, tidur aja dulu." Aku menghembus napas kasar mendengar jawaban dari Dera. Gadis itu adalah salah satu sahabatku yang begitu menyebalkan. "Kalau gitu gue sama Jingga tidur duluan, ya." Dera memberi anggukan kepala. Aku dan Jingga segera membaringkan tubuh kami dan bersiap untuk tidur. Kita butuh banyak tenaga untuk melanjutkan perjalanan di hari esok. Perjalanan untuk mengunjungi air terjun di tengah hutan. Jika bukan karena untuk laporan tugas kuliah, kami pun tidak akan pergi mencari dan mengunjungi air terjun itu. "Selamat tidur," kata Jingga yang kemudian menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Aku terus mencoba memejamkan mataku, entah kenapa tiba-tiba rasa kantukku menjadi hilang. Aku berdecak dibalik selimut. Sekali lagi aku coba menutup rapat mataku. "Aaa ... Rat-na, Jing-ga, to-long." Suara teriakan itu membuat aku dengan spontan menyibakkan selimut. Keningku berkerut serta mulutku menganga karena tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Karena bingung aku segera membangunkan Jingga yang mungkin sudah tertidur. "Eh, gue takut. Lo kenapa, Ra, bisa kelilit selendang itu?" tanyaku pada Dera. Gadis itu tak menyahut. Aku semakin paning sekarang. "Jingga bangun woi!" teriakku tepat di telinga Jingga. Jingga terpelonjat kaget. Bisa kulihat gadis itu menatap aku kesal. Dengan bergetar aku menunjuk ke arah Dera di sudut kamar. Jingga membulatkan matanya. "Di ... dia kenapa?" tanya Jingga dengan terbata. Hanya gelengan kepala yang bisa aku berikan untuk jawaban pertanyaannya. Brak! Tiba-tiba pintu kamar kami terbuka lebar. Mulutku bertambah menganga tak percaya ketika melihat seorang gadis cantik dengan dandanan penari berjalan masuk ke kamar yang kami temapati. Matanya menatap tajam ke arah Dera. Tampaknya ia seperti tidak menyukai Dera. “Uhuk ... uhuk ....” Dera terjatuh dan terbatuk saat selendang yang melilit serta mencekik lehernya itu ditarik oleh sang penari yang baru saja masuk ke dalam kamar. Tapi tak lama setelah itu gadis penari itu mengibaskan selendangnya ke tubuh Dera. Mataku seakan ingin keluar dari tempatnya. Dadaku bergemuruh hebat dan terasa begitu sesak menyaksikan kejadian di depan mataku ini. Gadis penari itu dengan tega mencekik leher Dera dengan selendang itu “Tolong,” ringik Dera lemah. Entah sejak kapan mataku berderai air mata. Tubuhku terasa lemas serta lidahku yang terasa kelu untuk berbicara. “Dera ... lepasin Dera.” Aku tersadar ketika mendengar teriakan dari Jingga di sampingku. Gadis penari itu tidak menghiraukan Jingga, ia justru semakin menarik kuat selendang yang melilit di leher Dera. “Mati kamu!” suara menyeramkan itu keluar dari bibirnya. “Ni Rajeng, lepaskan.” Aku menoleh ke arah sumber suara. Itu suara Ni Putri, pemilik rumah kecil ini. Ni Putri terlihat menangis. “De ... Dera,” lirihku. “Na, lo harus tenang, biar asma Lo nggak kambuh,” ujar Jingga sembari memeluk tubuhku. “Ni Rajeng lepaskan gadis itu,” pinta Ni Putri dengan memohon. Gadis dengan penampilan penari itu menggeleng. “Dia merusak selendangku. Dia membakar selendang pemberian orang yang aku cintai.” Suaranya terdengar begitu menyeramkan. “Lepas!” teriak Ni Putri. “Tidak!” balas gadis penari. “Kembali ke alammu,” peringat Ni Putri. Gadis penari itu tidak menghiraukan perkataan Ni Putri. “Mati.” Setelah mengatakan itu gadis penari itu menarik selendangnya dan tubuh Dera pun ambruk di lantai. “Kembali ke alammu. Saya tidak mengizinkan kamu kembali ke sini lagi,” ujar Ni Putri yang kemudian melemparkan lilin yang menyala ke gadis penari itu. Seketika semua tubuhnya terbakar dan tanpa lama-lama ia menghilang dari kamar ini. Setelah itu aku dan Jingga segera menghampiri Dera yang tergeletak lemah di atas lantai. “De ... Dera nggak bernapas,” ungkap Jingga yang membuat aku syok. Kami berdua menangis bersama, merasa tidak percaya dengan semua yang terjadi. “Maaf, maafkan Ni Rajeng adikku. Dia adalah arwah yang tinggal dan menjaga selalu kamar ini, semua barang di kamar ini. Ini semua miliknya, dan dia membenci orang yang membuat barangnya rusak.” Aku semakin terisak mendengarnya. “Andai lo dengerin kita. Dera gue nggak mau kelihatan elo,” kataku parau. Aku dan Jingga segera memeluk tubuh kaku Dera. Rasanya begitu menyesakkan ketika harus kehilangan seorang sahabat yang selalu kita sayangi. BIODATA PENULIS Muhammad Syahrullah. Sr, Duta Inspirasi Provinsi Sulawesi Selatan. lelaki asli keturunan Bugis Makassar yang akrab disapa Rull atau Syarh dan memiliki nama rumah Angga. Lahir di Ujung Pandang, 22 Oktober 2001. Memiliki ketertarikan terhadap dunia kepenulisan sejak duduk dibangku kelas 6 SD dan telah menulis -+ 15 Buku Antologi dan beberapa kali menjuarai Cipta Baca Puisi dan kompetisi kepenulisan sastra lainnya seperti Cipta Cerpen, Quotes, Karya Tulis Ilmiah dan Esai. Jejaknya bisa teman-teman temui di akun Instagram pribadi miliknya: @syarh.sr Makassar, 14 Februari 2022
0 Comments
Leave a Reply. |
Details
Archives
May 2022
Categories |