Mungkin nasib kurang beruntung sedang ada bersamaku. Sudah beberapa hari ini aku
kehabisan uang belanja tanpa ada simpanan sedikit pun. Di dompetku tersisa uang 1 lembar sepuluh ribu rupiah. Beruntung aku masih mempunyai sambal saos tomat botol yang masih bertahan di kamar asrama dan beberapa sisa kerupuk ikan yang ku bawa tiga minggu lalu dari rumah. Jadi setiap akan makan aku sengaja makan secara sembunyi-sembunyi. Membiarkan teman-teman sekamarku makan bersama. Karena aku segan jika harus meminta sambal mereka. Aku bukanlah orang yang berani berterus terang kesiapapun. Jadi setiap jadwal makan tiba aku sengaja bersembunyi di perpustakaan sekolah. Letak asrama dan sekolah tak jauh, sebab asrama ada di dalam lingkungan sekolahku. Aku bersekolah di salah satu MAN di daerahku. Jarak sekolah ke rumahku hanya 5 jam perjalanan jika itu tidak mengalami kemacetan di jalan. Dengan uang yang hanya cuma segitu aku tak dapat berbuat apa-apa. Dua hari lagi ada pembayaran buku yang jumlah nominalnya mencapai 50 ribu rupiah. Aku bingung. Aku mungkin bisa mengatakan itu ke orang tuaku tapi tidak dengan uang belanjaku. Aku sadar kemarin aku terlalu boros. Mengikuti teman berbelanja sana-sini membeli apapun yang sebenarnya kurang aku butuhkan. Aku hanya sekedar mengikuti teman mencoba untuk ikut gaul bersama mereka tapi ternyata malah aku yang kena imbasnya. Dengan modal segitu aku sengaja menelpon ibu. Kebetulan di dekat sekolah ada WARTEL. Ku tekan nomor telepon rumah dengan pasti. Menunggu beberapa saat hingga akhirnya dijawab oleh adikku. “Berikan teleponnya ke ibu” jawabku langsung tanpa berbasa-basi sebab argo teleponnya mulai berjalan. Lalu ibu menjawab teleponku. Ku jelaskan bahwa hari senin buku pelajaran harus segera dilunasi dan aku juga minta jemput pulang. Jika aku pulang ke rumah pasti aku akan kembali mendapatkan uang jajan. Namun alasan itu tak ku sebutkan. Tapi jawaban dari ibu membuatku geram sendiri. Tak ada yang bisa menjemputku di sini dan uang buku akan dititipkan ke Ibu Guru yang satu daerah denganku. Aku kesal. Ibu bertanya panjang lebar tentang kabarku dan harus ku jawab. Setelah selesai menelpon kulihat argonya telah menunjukkan angka 5000. Aku terperanjat namun tak tampak oleh ibu penjaga wartelnya. Ku serahkan uang sepuluh ribu terakhirku. Dan ku ambil kembalian lima ribu rupiah beserta slip pembayarannya. Aku begitu kesal waktu itu. Uangku bertambah menipis dan stok makananku juga sudah sangat tipis. Kebetulan di dekat wartel itu ada kolam ikan. Sengaja aku duduk sebentar di sana. Di tepi kolam. Melihat ikan-ikan yang sepertinya mentertawakanku. Aku semakin kesal. Sontak saja ku ambil slip pembayaran telepon tadi dari saku rok ku. Ku sobek-sobek secara kasar. Semakin kecil sobekannya, lalu ku tebar ke tengah kolam. Ikan-ikan itu berebut memakan kertas-kertas sobekan itu. Tak lama setelah itu kembali aku merogoh saku rokku. Tak ketemu. Aku yakin meletakkannya di saku dan sangat yakin. Aku berbalik ke dalam wartel dan menanyakan ke ibu penjaganya. Ibu itu berkata bahwa aku memasukkannya berbarengan dengan slip pembayaran itu. Aku terkejut bukan kepalang. Segera aku berlari ke tepi kolam. Mengais- ngais air itu berharap uangku akan kembali utuh. Namun itu hanya mimpi. Uang terakhirku telah lenyap dimakan ikan-ikan yang tak berperi-ikanan tersebut. Aku masih menggapai- gapai lepas ke air sambil menangis. Walau yang aku lakukan adalah hal yang percuma. Akhirnya aku pulang ke asrama. Di kamar, temanku kembali menanyakan keadaanku. Ku jawab seadanya lalu kutinggal tidur. Ketika hari senin. Pelajaran pertama adalah bahasa Indonesia. Guru menanyakan tentang pengalaman yang sangat sulit dilupakan baik itu pengalaman menyenangkan ataupun menyedihkan. Ibu guru tersebut meminta murid untuk bercerita ke depan. Tak ada yang berani maju. Hingga aku yang ditunjuk untuk maju kedepan. Ibu guru yang satu ini memilki tingkat emosi yang tinggi, jadi daripada aku dimarahi maka lebih baik aku maju. Di depan kelas aku masih bersikeras bahwa aku tak memiliki pengalaman semacam itu. tapi ibu terus mendesakku. Alhasil ku ceritakan pengalamanku tentang uang terakhirku yang akhirnya hanya habis di makan ikan di kolam. Seisi kelas tertawa. Meneriakiku dengan nada mencemeeh bahkan ibu guru pun ikut tersenyum. Yah malang benar nasibku. Hendak mengikuti gaya teman malah aku yang semakin terbelakang. Ditulis oleh : Popika Ramadania, DII Batch 4 Provinsi Bengkulu
0 Comments
“Tetap saja kalau dari lahir tidak pintar, mau belajar sebanyak apa pun tetap bodoh, Tuti!”
Demikian pernyataan yang sering kudengar, ketika aku mulai mengambil posisi duduk di sebuah kursi bambu dekat teras rumah, menikmati pemandangan gunung desa yang memikat, sambil belajar merepetisi entitas sekolah. Meskipun terdengar bengis, Kalimat yang dilontarkan oleh Mamak tak aku ambilpusing. Namanya juga orang kampung, pandangan tradisional yang semata-mata mengekang seorang anakperempuan patut mahir melahirkan ibu rumah tangga. Tak asing dari kata melampas makanan dan membersihkan rompok. Padahal, aku hanya kepingin menjadi sorangan ibu rumah tangga yang berpendidikan. Bukankah seorang indung akan mencorakkan madrasah pertama bagi anaknya? Anutku, ramalan komunitas talang selama ini, salah. Aku embuh bergerak menuntut ilmu tatkala memacu didikan di desa dan kelak akan membentuk sosok sempena hati kepada penghuninya. Aku pun angkat kaki dari rumah. Lalu, mencari persemayaman yang makmur untuk berguru. Suasana lengang nan sejuk di desa berhasil menyulut hati untuk turut bertandak larat bersama aliran udara. Inilah yang mesti disyukuri, denyut di pedalaman memang memelikkan. Aku singgah di sebuah gubuk sekitar sawah. Walaupun sedikit berdebu, gubuk itu menjadi semata wayang lapak andalanku untuk menukas pelajaran sekolah, ketika aku tak dapat pengayoman dari Mamak di rumah. Aku masih cakap berteduh di sana. Sambil membawa lektur pelajaran Kimia, aku berjalan menyusuri rindangnya pepohonan hijau, melangkaui sawah belantara, seraya menyeruput aroma semerbaknya daun teh yang telah dibasahi oleh embun. Setibanya, aku segera duduk ayu di sebuah saung prasaja. kemudian menyibakkan lembaran demi lembaran untuk diarifkan. Semata-mata keelokan hidup di desa pun punah semenjak aku bermigrasi ke kota bersama ayah. Umur ayah yang meluap tua menyebabkan hasil panen padi di desa tak seapik dulu. Karena tenaganya melembek, ini menjadi salah satu faktor mengapa penghasilan padi menurun ekstrem dan mengundang kemalangan kapital sawah. Ayah yang berprofesi sebagai buruh tani terpaksa diberhentikan. Pesangon yang dibubuhkan pemilik ladang pun tak banyak. Kemudian, ayah merealisasikan pesangon itu sebagai bahan modal ber kelontong cilok di kota. Selain akan ramai pembeli, di kota juga terdapat berbagai corak pasar yang menjual bumbu rampai dagang eksekutif. Sebenarnya, keputusan untuk mengekspos bisnis di kota Depok sangat curai dilawan oleh Mamak. Apalagi mendengar kabar dari ayah bahwa aku akan ikut ke kota untuk bantu mencari uang. Perlu diakui, hanya aku satu satunya anak yang bisa diandalkan oleh kedua orang tuaku, karena aku merupakan anak tunggal. Lantas, tugasku hanya sekadar membantu ayah bekerja atau mengakomodasi ibu mengurus rumahtangga. Sepertinya, mereka betul-betul tidak peduli dengan masalah pemberadabanku. Bahkan, pendidikan dianggap sebagai sesuatu yang alit demi menggapai masa depan. Seperti biasa, pagi hari di kampung begitu asri nan indah. Bahana ayam jantan yang berkokok sukses menyadarkan para warga desa Sukaluyu dari rebahnya. Gemercik air langit menggarap kabut fajar berkecamuk sejuk. Bermukin pukul 07.00, kumasukkan beberapa pakaian layak ke dalam tas untuk dibawa ke kota. Aku tidak tahu, kapan aku akan kembali lagi ke desa ini. Seluruhnya terkait dengan skenario ayah. Jujur, berat rasanya untuk meninggalkan ibu dan teman-temanku di dukuh. Apalagi, menyetujui fakta bahwa aku mesti kandas sekolah demi membantu ayah bekerja. peluangku menjadi seorang dokter pun menyusut. Meskipun aku tidak bersekolah lagi, aku tetap bersemangat meraih cita cita. Aku akan terus belajar. Aku yakin, Tuhan tidak akan mengecewakan hamba-Nya yang telah berusaha, lamun dengan cara yang tak disangka. Kami berjalan sejauh 750 meter ke pinggir desa, Kiranya memerlukan waktu sekitar 15 menit untuk meniti. Kemudian kami menanjaki angkutan umum untuk alot datang ke kota Depok. Setelah sampai di kota Depok, kami tiba di sebuah kontrakan sederhana yang tak jauh dari tempat pemberhentian angkot. Kontrakan ini cukup besar dan nyaman. Walaupun suasana kota tak sesejuk di desa. Aku sangat bersyukurbisa tinggal di sini. Esoknya, ayah tengah siap berdagang bersama gerobak cilok yang baru dibelinya kemarin. Dengan sigap, aku segera mengatupkan pintu kontrakan. Kemudian, berangkat menunjang ayah. Waktu merujuk pada pukul 07.00, kini suasana jalanan kota depok sangat padat. Segudang kendaraan bermesin tengah berlalu lalang di sana. Terdapat banyak remaja menggunakan sepedanya untuk berangkat ke sekolah. Kami Berhenti di depan sebuah sekolah bernama SMA Lazuardi untuk berniaga. Kusaksikan para peserta didik mengenakan seragam putih abu-abu dengan rapi seraya mengangkat buku di sakalnya. Bola Mataku seketika berbinar, rasa palar menyambung SMA pun selaku terjelma kembali . Ayah yang sedari tadi menjeling mataku, hanya terkekeh. Aku segera memalingkan tatapan. Kemudian, fokus melayani para pembeli. Tak terasa, dagangan cilok pun telah habis. Sesampai di rumah, aku terlelap hingga petang. Terbukti, mencari uang tak selasih yang aku terka. Begitu lelah selepas berjualan. Padahal aku hanya melayani para pembeli, sedangkan ayah yang merebus dan mengukus cilok.Bahkan, ayah pula yang mendorong pendati di tengah teriknya siang. Aku bertekad untuk bangun lebih pagi esoknya untuk menyiapkan seluruh kepentingan bergerai. Begitulah kehidupan kami setiap harinya. Berimbuh hari, cilok rakitan ayah semakin ramai konsumen. Setelah uang hasil kerja terkumpul, Ayah memutuskan untuk daftar aku ke sebuah sekolah swasta bersebutan SMA Lazuardi, meskipun aku paham betul anggaran sekolah swasta sangat mahal. Namun, ayah tetap berambisi agar aku dinukilkan di sana. “Untuk masalah biaya, Insya Allah ada rezekinya Tut, Ayah akan bekerja keras agar kamu bisa sekolah di tempat yang molek,” Ucap ayah sembari tersenyum. Setelah mengikuti tes masuk dan telah dinyatakan tembus di SMA Lazuardi, kini aku menerapkan banyak seragam sekolah yang sudah ayah belikan. Ini adalah sebuah maktab menawan bagiku. Ditinjau dari aspek bangunan , ruangan kelas yang ber AC disisipi oleh meja kursi yang terbuat dari besi. Tak rotan lagi seperti halnya sekolah di desa. Merancangku semakin berstamina dalam menimba ilmu. semenjak bersekolah, ayah juga turut melarangku untuk ikut ber kedai cilok di depan sekolah. Pesan ayah, aku mesti menjadi orang berjaya. Hari perdana sekolah. Aku berjalan kaki menuju SMA Lazuardi yang tak jauh dari rumah. Ketika masuk kelas X IPA 2, aku dipersilahkan oleh guruku untuk memperkenalkan diri. Setelah itu, aku segera mencari kursi kosong yang tepat berada di barisan paling belakang. Tak lama lagi, Bel istirahat pun berbunyi. Ini adalah hari terbaik, gumamku. Kupikir, kedua orang tuaku amat apatis terhadap masa depan. Tapi, tidak dengan ayah. Justru ayah kepalang mendukung pendidikanku dalam meraih cita – cita. “Itu bukannya orang yang suka jualan cilok di depan sekolah? mengapa dia sekolah disini? Malu-maluin saja!” “Apakah dia mampu membayar sekolah sekeren ini? Jangan jangan ayahnya ngutang!” “Lihat! Kita harus berhati hati sama anak ini! Dari gelagatnya saja sudah menandakan bahwa dia seorang pencuri!” Itulah sambutan yang kuterima dari beberapa teman baruku. Walaupun sedikit diremehkan, bukan masalah. Di desa, hal ini sudah biasa dilakukan oleh anak sekolah sebagai candaan. Toh, di sini aku berniat semata mata untuk belajar. Aku tidak peduli dengan celotehan mereka. Selama mereka tidak mengganggu ketersediaan dan kenyamanan belajar ku, aku tak akan lawan. Aku berkenalan dengan salah satu murid yang tepat duduk di samping mejaku. Ia bernama Alyssa Aisha. Seorang perempuan desa yang berimigrasi ke kota pula. Sekarang, ia tengah tinggal di rumah pamannya. Setelah kedua orang tuanya wafat, ia tidak memiliki satupun sanak saudara untuk diajak kembali melanjutkan hidup di desa. Lalu, paman memutuskan untuk menjemput Alyssa ke kota dan menetap tinggal di sana. Dalam jangka waktu singkat, kami dapat berteman baik. Selepas ke kantin, aku dan Alyssa kembali ke kelas. Lalu terkejut melihat keadaan meja ku yang penuh dengan kotoran cicak, bahkan di kolong kursi ku terdapat cilok cilok berserakan. Tasku disiram oleh minuman bersoda. Entah siapa yang tega berbuat seperti ini. Terpaksa, aku harus menjemur tas basahku ke lapangan sekolah. Kemudian, ditertawakan oleh seluruh siswa SMA Lazuardi. Tak hanya itu, seluruh buku yang kubawa juga diserapahkan oleh teman sekelas. Parahnya, ada ancaman penghancuran gerobak cilok milik ayah jika aku mengadu kepada guru tentang apa yang mereka lakukan. Alyssa hanya menenangkan. Ia bercerita kepadaku, Alkisah di semester satu, ia juga sempat di bully oleh teman sekelasnya karena tak setajir mereka. Alyssa juga menambahkan, bahwa kawan kawan disini memang membentuk suatu komunitas yang terdiri dari golongan elit, sehingga hobby nya memberantas kaum sederhana. Namun, semenjak Alyssa menunjukkan kemampuannya dalam bidang olahraga, dan berhasil meraih prestasi sebagai Juara 1 Lomba Renang, mereka enggan lagi untuk mengganggu Alyssa. “Pada intinya, kita harus membuktikan kepada semua orang bahwa kita adalah murid yang berprestasi dan tidak bisa diremehkan,” ucapnya. ^^^ Enam bulan kemudian, pembagian rapor semester dua telah dibagikan. Meskipun aku mengambil rapor sendirian, karena ayah harus kukuh berjualan cilok. Tapi tak apa, aku tetap bersyukur. Rasanya tak sabar untuk memberikan berita bahagia ini kepada ayah karena aku berhasil meraih peringkat pertama di kelas. aku menunggu ayah pulang ke rumah.. Biasanya, beliau akan kembali setelah dagangan ciloknya habis. Lalu, memberikan nasi bungkus kepadaku dan beristirahat sejenak. Lantas, kembali bekerja sebagai pengendara angkot. Yang perlu dikhawatirkan, ayah seringkali pulang hingga larut malam, sekitar pukul 23.00. Tentu, sebenarnya aku sangat takut terhadap apa yang akan terjadi pada ayah jika pulang selarut itu. Namun, ayah hanya mengatakan tak apa. Ketika ayah datang sembari mendorong gerobak cilok, aku melambaikan tangan dari jendela. Lalu segera memberi rapor sekolah yang baru saja kuterima. Betapa bahagia nya ayah saat melabeli laporan bahwa nilaiku sangat melegakan. Ayah pun tergelak. Kamu anak yang hebat dan pintar, Tuti. *** Kalimat yang ayah lontarkan kemarin. Menuangku untuk semakin bersemangat dalam menuntut ilmu. Walaupun kenyataannya,aku sangat lelah bersekolah di swasta karena sikap teman - temanku. Aku tetap bersikeras untuk menyembunyikan pembullyan ini terhadap siapapun. Ayah tak pernah tahu masalah apa yang telah terjadi denganku saat di sekolah. Seperti dipermalukan, dikucilkan bahkan selalu diancam. Tak terasa, aku berhasil melewati masa pahit manis di SMA. Puji syukur kepada Allah, aku lulus dengan nilai yang memuaskan dan diterima sebagai mahasiswi Fakultas Kedokteran di Universitas Indonesia. Teman temanku yang sedari tiga tahun yang lalu membullyku, Akhirnya meminta maaf atas perbuatan yang telah dilakukan selama ini. Aku pun memaafkan mereka. Akhirnya, kami dapat berteman baik. Inilah yang sangat aku inginkan. **** Hari pertama OKK UI, aku berangkat dari kontrakan menuju kampus dengan mendaki ojek.Sebenarnya, aku tidak ingin membebani ayah karena naik ojek setiap hari butuh biaya ongkos lebih mahal. Aku juga tak masalah untuk jalan kaki dari rumah seperti biasanya. Tetapi, ayah kukuh melarangku. Ayah hanya tak mau melihat anak perempuannya kelelahan di tengah jalan. Selepas dari kampus, aku kembali ke rumah dengan perasaan bahagia. Aku ingin segera bercerita ke ayah tentang pengalaman pertama Ospek kampus ku. Mulai dari Pembukaan Kegiatan Mahasiswa Baru yang mengundang kantuk, hingga Pengenalan Sistem Akademik Fakultas yang sangat seru. Namun, ketika aku pulang ke rumah, aku melihat ayah sedang menangis tersedu sedu sambil menggenggam handphone milik tetangganya. “Mamak Meninggal Tut,”ucap ayah. Aku diam membisu. Seakan tidak percaya. Di kampung, mamak dinyatakan tewas di kamar mandi rumah, dan baru diketahui jasadnya setelah satu hari yang lalu. Tubuhnya pun membusuk. Sampai saat ini, sebab kematian mamak belum juga terdeteksi. Aku dan ayah benar benar larut dalam kesedihan. Sedari tadi ayah dihubungi oleh kepala desa di sana melalui telepon genggam tetangga yang kebetulan menjadi ketua RT di komplek ini. Sebenarnya, kami ingin sekali kembali ke kampung untuk turut mengubur mamak. karena jasadnya kian membusuk, mayat mamak terpaksa di kubur lebih cepat oleh warga agar bau nya tak kunjung berimbuh. Aku melewati masa kuliahku dengan baik. Aku pun tak pernah menyangka akan berakhir seperti ini. Skenario Tuhan memang paling mempesona. Sejengkal lagi, aku berhasil mewujudkan cita citaku menjadi seorang dokter. Aku juga cukup dikenal sebagai mahasiswa berprestasi di Universitas Indonesia dengan peraihan medali emas di beberapa kompetisi sains. Setelah melewati tenggak koas dan insip. Akhirnya hari wisuda yang telah lama aku nanti pun tiba dalam jangka waktu Dua hari lagi. Seluruh wisudawan dan wisudawati diberi kerenggangan waktu untuk mempersiapkan seluruh keperluan pelantikan. Sekilas, aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi ayah nanti jika namaku tengah dipanggil dan dinyatakan lulus menjadi seorang dokter umum. “Tuti, setelah kamu lulus S1, ayah ingin, kamu belajar ilmu agama lebih dalam. Ayah tak mau, kamu hanya pandai di bidang akademik. Akan tetapi, ayah juga ingin menyandang anak ayah yang pintar ini menjadi anak sholehah dan dapat memberi syafaat di akhirat kelak. Jangan pernah putus asa dalam menggali ilmu, Nak.” Aku mengangguk setuju. Di saat itu, kuputuskan untuk mulai memahfuzkan Al Quran. Selain itu, aku juga menawarkan diri sebagai guru mengaji anak PAUD. Esoknya, ini adalah hari terakhir menuju pelantikan. Namun, di hari renggang ini, aku tak lupa membantu ayah untuk berdagang cilok. Setelah semuanya siap, kubuka pintu kamar ayah sekilas, ternyata ayah masih terlelap. Tumben sekali, mungkin ayah lelah. Aku memutuskan untuk berjualan sendiri tanpa dampingan ayah. Sebelum berangkat, kubuka laci tempat penyimpanan uang terlebih dahulu. Memastikan agar tempat itu kosong sebelum nantinya akan diisi oleh kepeng lain. Ternyata, di dalamnya ada sejumlah hasil penjualan kemarin. Besarnya pun tidak sedikit. Aku terheran, mengapa ayah biarkan uang ini di pedati? Padahal, peluangnya akan raib. Tanpa ba-bi-bu, Aku mengambil uang sebanyak seratus ribu di laci gerobak. Kemudian, kembali ke rumah untuk memberikannya kepada ayah. Kubuka pintu kamar ayah, beliau masih jua terbaring. Karena tak tega untuk membangunkan, terpaksa aku membuka lemari ayah tanpa izin untuk menaruh duit. Lalu, kuletakkan di atas pakaian ayah. Di sampingnya, terselip secarik amplop rumah sakit. Karena rasa keingintahuan ku yang tinggi, aku membuka surat itu dengan perlahan agar ayah tak bangun. Betapa terkejutnya aku, melihat hasil surat pemeriksaan. Ternyata, ayah sudah mengidap penyakit kanker usus semenjak Tiga bulan yang lalu. Di sini tertera menginjaki stadium Empat. Ragaku kian melemas. Melihat ayah mendengkur saat ini di kasurnya. Sungguh, aku amat konyol tentang apa yang sebenarnya terjadi. Menyesal, itulah yang sekarang kurasakan. Selama ini aku hanya mengedepankan pendidikan hingga tak sempat menanyakan kebugaran ayah. Dengan segera, aku membangunkan ayah untuk pergi ke rumah sakit. Walaupun ku tahu, kecil kemungkinannya untuk sembuh. Kubangunkan ayah, namun tak ada setitik pun respon darinya. Detak nadi yang biasa terdengar di ujung pergelangan tangan, kini tak bisa aku rasakan. Kugoncangkan tubuh ayah dengan penuh emosi. Seakan tidak percaya bahwa ayah telah tiada. Ayah, maafkan aku. Rasanya,seperti ada bagian jiwa yang tengah patah, ketika kehilangan seseorang yang paling berharga untuk selamanya. Ayah adalah satu satunya harta. sosok pekerja keras yang dapat memotivasiku untuk terus berjuang. Setelah dimandikan dan disholatkan, ayah siap dibawa ke tempat persemayaman terakhir, dibantu oleh warga komplek sekitar. Teman kampusku juga banyak yang berkunjung ke rumah untuk berziarah atau sekadar mengucapkan belasungkawa. Selasa, 20 April 2020 aku wisuda tanpa seorangpun yang datang menghadiri dan menemanihari kebahagiaanku saat ini. Pengalungan medali kelulusan, itulah yang sangat ingin kutunjukkan oleh ayah dan mamak. Bahwa aku telah berhasil meraih cita - citaku sebagai seorang dokter. “ Nomor 95311024 Tuti Ardianti, S.Ked. Putri dari bapak Yoyo Matsuro dan ibu Suyati” Ketika namaku dipanggil, aku mendaki ke atas panggung seraya diberi toga beserta piagam oleh bapak rektor. Kemudian berfoto dengannya. Saat penyebutan nama pengampu, para wali dari wisudawan wajib berdiri tegak menyaksikan kelulusan puak. Di saat itulah para pembimbing bangga terhadapnya. Namun, ketika namaku berkibar di lentera gedung, tak ada satupun orang yang bangkit dari kursi tamu. Keadaan menjadi hening. “Tuti Ardianti, seorang mahasiswi yang telah mengukir prestasi sebagai peraih medali emas pada ajang Olimpiade Sains Nasional Tingkat Perguruan Tinggi (OSN-PTI) yang diselenggarakan oleh Institut Pertanian Bogor dan penggenggam IPK sempurna senilai 4.00, baru saja kehilangan sosok ayah kandung pada satu hari yang lalu. Meski begitu, ia tetap aktif dan bersemangat dalam meraih cita citanya. Inilah sosok pejuang yang patut diteladani,” Jelas host, dengan nada penuh lamban dan pilu. Suasana mengharu biru. Para wisudawan ikut berkaca kaca menyaksikan kemalanganku. Para hadirin yang tengah duduk dibawah panggung, Seketika berdiri dan memberikan tepuk tangan meriah. Seusai wisuda, aku ingin segera pulang ke rumah untuk beristirahat. Karena kebetulan, aku sedang tidak fit semenjak ayah tiada. Pandangan ini kosong bagaikan toples yang tak berisi . Namun, tiba tiba bapak rektor mengajakku untuk turut hadir dalam sesi foto. Meskipun aku hanya diapit oleh bapak rektor kampus beserta istrinya, ini adalah pengalaman paling berharga untuk bisa bersalindia dengan mereka. Dan aku yakin, ayah dan mamak akan selalu tersenyum dan bangga kepadaku. … Selepas kepergian mamak dan ayah, kata “wafat” menjadi sesuatu yang menakutkan bagiku. Namun, hidup adalah proses kematian yang tertunda. Aku berusaha menerimanya dengan ikhlas. Berupaya menahan rindu, untuk memperoleh kembali arti cinta terhadap keluarga. Ditulis oleh : Alifna Nur Izzati Pada suatu hari di desa manasuka, hidup seorang nelayan bernama Romi. Kehidupan Romi sehari-hari hanyalah sebagai nelayan yang penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Romi tidak memiliki keluarga ataupun pendamping hidup. Itu dikarenakan orang-orang sekitar menganggapnya seorang yang kurang mampu, maka dari itu masyarakat setempat yang kondisinya bisa dikatakan kaya raya, sering sekali memandang rendah Romi karena kondisi ekonominya. Dengan segala kekurangan yang dimiliki Romi. Romi tidak pernah mengeluh ataupun menyesali kehidupan dia sekarang. Ia menjalani kehidupannya sendiri dengan penuh kebahagiaan walaupun kadang kala ia merasa kesepian. Dan hanya ditemani oleh seekor anjing kesayangannya bernama Bobby. Hanya merekalah yang tinggal di sebuah gubuk kecil yang masih beralaskan tanah dengan atap hanya menggunakan Jerami dan dinding dari anyaman kayu. Sehingga apabila hujan Romi dan anjingnya hanya bisa menumpang pada garase mobil tetangganya dikarenakan rumahnya pasti tergenang air yang masuk dari sela-sela atap rumahnya.
Di suatu pagi yang cerah, Romi bersama anjingnya Bobby bergegas untuk berlayar menangkap ikan di lautan lepas. Sesampai di perahunya Romi pun menyiapkan alat kebutuhannya, sedangkan Bobby hanya mengamati dari kejauhan. Rutinitas yang biasa mereka lakukan yakni Bobby dititipkan pada warung Bu Ijah yang dikenal baik hati dan gemar menolong Romi dalam keadaan susah. Bu Ijah sendiri sudah menganggap Romi anak kandungnya. Awal mereka bertemu secara kebetulan. Disaat Bu Ijah berduka dikarenakan anaknya telah meninggal terbawa arus laut dan tanpa sengaja Romi lah yang menemukan jasadnya. Di saat yang bersamaan Bu Ijah melihat wajah Romi mirip sekali seperti anaknya oleh karena itulah kedekatan mereka terjalin sampai sekarang. Romi pun berlayar ke tengah lautan. Beberapa jam telah berlalu namun tak ada seekoar ikan pun yang ada di jaringnya. Ia pun duduk termenung sambal bergumam “kemana semua ikan hari ini? Kenapa sangat sepi seperti hidupku, hmm” ditengah gumamannya itu ia pun tetap berusaha mencari ikan dengan pindah ke tempat lain yang lebih meluas. Ia pun mengulang untuk menebar jaringnya kembali. Lagi dan lagi ia harus menunggu dengan sabar sambil memakan bekal makan siangnya. Tak lama kemudian, dari kejauhan ia melihat seorang wanita duduk dengan tertunduk lemas di sebuah perahu yang mengapung sendirian di tengah lautan lepas. Romi pun terkejut sambil mendayung perahunya mendekat kearah perahu wanita tersebut lalu memanggilnya “Maaf nona, kenapa anda hanya sendirian disini ?”. Dengan wajah yang pucat dan tatapan yang sayu wanita itupun menjawab “tolong aku tuan” lalu wanita itu jatuh tak sadarkan diri. Melihat wanita tersebut pingsan Romi pun panik lalu memindahkan wanita tersebut ke perahunya. Kemudian bergegas kembali ke daratan dengan perasaan cemas melihat wanita tersebut tak sadarkan diri. Sesampainya di daratan, Romi mengangkat wanita tersebut lalu membawanya ke warung Bu Ijah agar diberikan pertolongan pertama. “Bu Ijahhh tolonglah wanita ini” teriaknya dengan keras. “astaga siapa wanita ini? wajahnya sangat cantik sekali, dimana kau menemukannya” kata Bu Ijah sambil menuntun Romi masuk kedalam kamar belakang warungnya untuk membaringkan wanita tersebut. Bu ijah pun mengoleskan minyak sembari memijat kepala dan tangan wanita itu dan Romi membantu memijat kakinya. Selang beberapa jam, wanita tersebut pun mendapatkan kesadarannya kembali. Melihat Bu Ijah dan Romi tertidur di samping kanan dan kirinya, ia pun tersentak sehingga membangunkan mereka. “Tenang nona anda aman disini” kata Bu Ijah. Wanita tersebut pun menjawab “siapa kalian? Dan kenapa aku bisa berada disini? Bukankah seharusnya aku berada di lautan lepas? Romi pun menjawab “Saya seorang nelayan nona, nama saya Romi dan ini Bu Ijah, pemilik warung ini. Saya menemukan nona terapung sendirian di atas perahu. Disaat bersamaan saya sedang mencari ikan lalu menghampirinya nona, dan tiba-tiba nona terjatuh lalu pingsan. Jikalau boleh saya mengetahui siapakah nama nona? Apakah nona tinggal disekitar sini? Agar saya bisa membantu untuk mencari keluarga nona. Wanita pun tertunduk sedih “Namaku Alana, sebenarnya aku sedang melarikan diri. Karena seseorang entah siapa telah menculikku. Lalu disaat mereka lengah, aku pun memberanikan diri terjun dari atas kapal mereka. Dan tak ku sangka ada kapal kosong mendekatiku yang hampir tenggelam. Lalu aku pun terombang-ambing tanpa makan dan minuman. Hanya berdoa agar seseorang yang baik dapat menemukanku. Aku tak menyangka aku ternyata masih hidup. Terima kasih banyak Romi dan Bu Ijah”. Akhirnya Alana pun diminta untuk tinggal sementara bersama Bu Ijah sampai keluarganya menemukan keberadaannya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Genap setahun Alana tinggal bersama Bu Ijah dengan perasaan bahagia dan aman. Alana sendiri sudah seperti putri kandung Bu Ijah. Begitu juga sebaliknya Alana pun menganggap Bu Ijah sebagai ibu kandungnya. Seperti hari-hari biasa, Romi pun datang bersama anjing kesayangannya Bobby untuk mencari ikan. Sesampai nya di warung Bu Ijah tanpa disadari Romi dan Alana ternyata saling memendam rasa satu sama lain. Seringnya mereka bertemu dan berbicara, membuat benih-benih cinta di antara mereka muncul yang membuat mereka merasa nyaman satu sama lain. Disisi lain Bu Ijah sendiri memiliki inisiatif untuk menjodohkan mereka. Bu Ijah pun meledek Romi sesampainya di warung “eh Romi, udah ditunggu sana, sama calon istrinya hahaha…” ledek Bu Ijah dengan tertawa lepas. “apaan si bu, jangan begitu dong “saut Romi dengan malu-malu. Romi pun menghampiri Alana yang duduk di pinggiran pantai. “ekhem, sendirian aja neng” ledek Romi. “ish apaan si kamu” saut Alana. Mereka pun duduk berdua dipinggiran pantai sambil menyiapkan peralatan untuk mencari ikan. “Al ikut mencari ikan bersamaku yuk” ajak Romi. “wah ayooo!!! sepertinya terlihat menyenangkan!” saut Alana. Mereka pun bergegas berangkat untuk mencari ikan. Sesampainya di tengah lautan, Romi memberanikan dirinya untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini ia pendam dihadapan Alana. “Al, aku ingin jujur, tapi jikalau kamu keberatan tidak usah dijawab iya hehe” kata Romi dengan ragu. “ada apa Rom? Apakah kamu sedang ada masalah? Alana pun memasang wajah serius menatap Romi. “jadi begini, aku sebenarnya susah untuk menyukai wanita, tetapi saat melihatmu dan berbicara denganmu , semakin dekat semakin aku merasa nyaman denganmu. Apakah kamu mau menjadi pendamping hidupku?” dengan suara yang gugup Romi pun melamar Alana tepat di atas perahunya. Alana pun terdiam sejenak. Lalu tersenyum sambil berkata “Ini yang aku tunggu-tunggu, aku pun memiliki perasaan yang sama seperti mu. Akan tetapi apakah kamu siap menerima satu syarat agar aku bisa menjadi pendampingmu?”. Romi pun terkejut mendengar kata Alana tentang satu syarat itu. “Apa syaratnya? Aku siap melakukan apapun demi mendapatkan dirimu”kata Romi dengan tegas untuk menunjukan keseriusannya. “Sebelumnya, aku akan menunjukkan kepadamu, siapakah aku sebenarnya. Kamu adalah lelaki pertama yang tidak pernah menanyakan asal usulku dari awal kita bertemu sampai saat ini. Dan kamulah lelaki yang berhasil membuatku jatuh cinta dari ribuan lelaki yang mencoba melamarku” saut Alana dengan tatapan penuh rahasia. Romi adalah orang yang setia dan ia telah berjanji dengan dirinya dan Bu Ijah jika suatu saat nanti dia menyukai perempuan yang tidak pernah mengeluh melihat kondisinya dan menerima segala kekurangan yang dimilikinya maka ia akan melamarnya. Dia percaya bahwa garis kehidupannya akan berubah ketika ia serius menjalani hubungan tanpa penghianatan. “lantas apa yang ingin kamu katakan Al?” Romi pun menatap Alana dengan raut wajah serius. “sekarang tutup matamu, dan peganglah tanganku, janganlah kamu mengeluarkan suara sedikitpun jika telah melihat apa yang terjadi”. Jawab Alana dengan penuh keberanian. Romi pun mengikuti perintah Alana dan tanpa disangka yang dia lihat. Ternyata Alana adalah seorang putri dari kerajaan langit. Dimana dia di culik oleh seorang pangeran yang akan dijodohkan dengannya. Alana bersikeras menolak perjodohan itu. Tanpa disangka pada malam hari. Disaat Alana tertidur, dia dibekap dengan ramuan ajaib sehingga dia tak sadarkan diri. Setelah sadar Alana mendapatkan dirinya telah dibawa oleh pangeran. Dengan melakukan segala cara, Alana berhasil kabur dari jeratan pangeran. Lalu terjatuh diatas perahu kecil yang membawanya terombang-ambing di lautan. Setelah melihat semuanya itu Romi pun bertanya dengan tenang “bagaimanakah aku bisa mengembalikan dirimu?”. Alana menatap Romi dengan tatapan penuh harapan “jika kamu bisa menemukan sesuatu yang telah hilang dariku, maka secara langsung kamu akan berada dikerajaanku”. Romi pun terdiam beberapa saat. Entah darimana asalnya, dia menyadari suatu hal. “Aku telah menemukan apa yang hilang dari dirimu”. Jawab nya dengan tegas. “Ingat kesempatan menjawabmu hanya sekali saja. Jika kau salah maka duniamu akan hancur sekejap mata” kata Alana. Ternyata itulah syarat yang dia maksudkan. “Kamu telah kehilangan perasaan cinta itu sendiri. dan kepercayaan kepada seseorang. Maka ditengah lautan lepas ini aku bersumpah akan mencintaimu dan menjagamu tanpa penghiatan sedikit pun” Romi bersumpah dengan kesungguhan hati sampai angin pun berhembus dengan hebat seolah menjadi saksi kesungguhan sumpah Romi. Alana pun terpesona karena keberanian Romi yang bersumpah di hadapannya. Alana pun memeluk Romi, entah kapan dan bagaimana jalannya mereka tiba di sebuah kerajaan megah tempat putri Alana tinggal. Mereka pun hidup Bahagia dan menggelar pesta pernikahan dengan megah. Bu ijah dan Bobby anjingnya pun secara tiba-tiba telah ada dikerajaan dan turut bersuka cita atas kebahagiaan mereka. Ditulis Oleh : Komang Ayu Budi Suardini |
Details
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. ArchivesCategories |