“Tetap saja kalau dari lahir tidak pintar, mau belajar sebanyak apa pun tetap bodoh, Tuti!”
Demikian pernyataan yang sering kudengar, ketika aku mulai mengambil posisi duduk di sebuah kursi bambu dekat teras rumah, menikmati pemandangan gunung desa yang memikat, sambil belajar merepetisi entitas sekolah. Meskipun terdengar bengis, Kalimat yang dilontarkan oleh Mamak tak aku ambilpusing. Namanya juga orang kampung, pandangan tradisional yang semata-mata mengekang seorang anakperempuan patut mahir melahirkan ibu rumah tangga. Tak asing dari kata melampas makanan dan membersihkan rompok. Padahal, aku hanya kepingin menjadi sorangan ibu rumah tangga yang berpendidikan. Bukankah seorang indung akan mencorakkan madrasah pertama bagi anaknya? Anutku, ramalan komunitas talang selama ini, salah. Aku embuh bergerak menuntut ilmu tatkala memacu didikan di desa dan kelak akan membentuk sosok sempena hati kepada penghuninya. Aku pun angkat kaki dari rumah. Lalu, mencari persemayaman yang makmur untuk berguru. Suasana lengang nan sejuk di desa berhasil menyulut hati untuk turut bertandak larat bersama aliran udara. Inilah yang mesti disyukuri, denyut di pedalaman memang memelikkan. Aku singgah di sebuah gubuk sekitar sawah. Walaupun sedikit berdebu, gubuk itu menjadi semata wayang lapak andalanku untuk menukas pelajaran sekolah, ketika aku tak dapat pengayoman dari Mamak di rumah. Aku masih cakap berteduh di sana. Sambil membawa lektur pelajaran Kimia, aku berjalan menyusuri rindangnya pepohonan hijau, melangkaui sawah belantara, seraya menyeruput aroma semerbaknya daun teh yang telah dibasahi oleh embun. Setibanya, aku segera duduk ayu di sebuah saung prasaja. kemudian menyibakkan lembaran demi lembaran untuk diarifkan. Semata-mata keelokan hidup di desa pun punah semenjak aku bermigrasi ke kota bersama ayah. Umur ayah yang meluap tua menyebabkan hasil panen padi di desa tak seapik dulu. Karena tenaganya melembek, ini menjadi salah satu faktor mengapa penghasilan padi menurun ekstrem dan mengundang kemalangan kapital sawah. Ayah yang berprofesi sebagai buruh tani terpaksa diberhentikan. Pesangon yang dibubuhkan pemilik ladang pun tak banyak. Kemudian, ayah merealisasikan pesangon itu sebagai bahan modal ber kelontong cilok di kota. Selain akan ramai pembeli, di kota juga terdapat berbagai corak pasar yang menjual bumbu rampai dagang eksekutif. Sebenarnya, keputusan untuk mengekspos bisnis di kota Depok sangat curai dilawan oleh Mamak. Apalagi mendengar kabar dari ayah bahwa aku akan ikut ke kota untuk bantu mencari uang. Perlu diakui, hanya aku satu satunya anak yang bisa diandalkan oleh kedua orang tuaku, karena aku merupakan anak tunggal. Lantas, tugasku hanya sekadar membantu ayah bekerja atau mengakomodasi ibu mengurus rumahtangga. Sepertinya, mereka betul-betul tidak peduli dengan masalah pemberadabanku. Bahkan, pendidikan dianggap sebagai sesuatu yang alit demi menggapai masa depan. Seperti biasa, pagi hari di kampung begitu asri nan indah. Bahana ayam jantan yang berkokok sukses menyadarkan para warga desa Sukaluyu dari rebahnya. Gemercik air langit menggarap kabut fajar berkecamuk sejuk. Bermukin pukul 07.00, kumasukkan beberapa pakaian layak ke dalam tas untuk dibawa ke kota. Aku tidak tahu, kapan aku akan kembali lagi ke desa ini. Seluruhnya terkait dengan skenario ayah. Jujur, berat rasanya untuk meninggalkan ibu dan teman-temanku di dukuh. Apalagi, menyetujui fakta bahwa aku mesti kandas sekolah demi membantu ayah bekerja. peluangku menjadi seorang dokter pun menyusut. Meskipun aku tidak bersekolah lagi, aku tetap bersemangat meraih cita cita. Aku akan terus belajar. Aku yakin, Tuhan tidak akan mengecewakan hamba-Nya yang telah berusaha, lamun dengan cara yang tak disangka. Kami berjalan sejauh 750 meter ke pinggir desa, Kiranya memerlukan waktu sekitar 15 menit untuk meniti. Kemudian kami menanjaki angkutan umum untuk alot datang ke kota Depok. Setelah sampai di kota Depok, kami tiba di sebuah kontrakan sederhana yang tak jauh dari tempat pemberhentian angkot. Kontrakan ini cukup besar dan nyaman. Walaupun suasana kota tak sesejuk di desa. Aku sangat bersyukurbisa tinggal di sini. Esoknya, ayah tengah siap berdagang bersama gerobak cilok yang baru dibelinya kemarin. Dengan sigap, aku segera mengatupkan pintu kontrakan. Kemudian, berangkat menunjang ayah. Waktu merujuk pada pukul 07.00, kini suasana jalanan kota depok sangat padat. Segudang kendaraan bermesin tengah berlalu lalang di sana. Terdapat banyak remaja menggunakan sepedanya untuk berangkat ke sekolah. Kami Berhenti di depan sebuah sekolah bernama SMA Lazuardi untuk berniaga. Kusaksikan para peserta didik mengenakan seragam putih abu-abu dengan rapi seraya mengangkat buku di sakalnya. Bola Mataku seketika berbinar, rasa palar menyambung SMA pun selaku terjelma kembali . Ayah yang sedari tadi menjeling mataku, hanya terkekeh. Aku segera memalingkan tatapan. Kemudian, fokus melayani para pembeli. Tak terasa, dagangan cilok pun telah habis. Sesampai di rumah, aku terlelap hingga petang. Terbukti, mencari uang tak selasih yang aku terka. Begitu lelah selepas berjualan. Padahal aku hanya melayani para pembeli, sedangkan ayah yang merebus dan mengukus cilok.Bahkan, ayah pula yang mendorong pendati di tengah teriknya siang. Aku bertekad untuk bangun lebih pagi esoknya untuk menyiapkan seluruh kepentingan bergerai. Begitulah kehidupan kami setiap harinya. Berimbuh hari, cilok rakitan ayah semakin ramai konsumen. Setelah uang hasil kerja terkumpul, Ayah memutuskan untuk daftar aku ke sebuah sekolah swasta bersebutan SMA Lazuardi, meskipun aku paham betul anggaran sekolah swasta sangat mahal. Namun, ayah tetap berambisi agar aku dinukilkan di sana. “Untuk masalah biaya, Insya Allah ada rezekinya Tut, Ayah akan bekerja keras agar kamu bisa sekolah di tempat yang molek,” Ucap ayah sembari tersenyum. Setelah mengikuti tes masuk dan telah dinyatakan tembus di SMA Lazuardi, kini aku menerapkan banyak seragam sekolah yang sudah ayah belikan. Ini adalah sebuah maktab menawan bagiku. Ditinjau dari aspek bangunan , ruangan kelas yang ber AC disisipi oleh meja kursi yang terbuat dari besi. Tak rotan lagi seperti halnya sekolah di desa. Merancangku semakin berstamina dalam menimba ilmu. semenjak bersekolah, ayah juga turut melarangku untuk ikut ber kedai cilok di depan sekolah. Pesan ayah, aku mesti menjadi orang berjaya. Hari perdana sekolah. Aku berjalan kaki menuju SMA Lazuardi yang tak jauh dari rumah. Ketika masuk kelas X IPA 2, aku dipersilahkan oleh guruku untuk memperkenalkan diri. Setelah itu, aku segera mencari kursi kosong yang tepat berada di barisan paling belakang. Tak lama lagi, Bel istirahat pun berbunyi. Ini adalah hari terbaik, gumamku. Kupikir, kedua orang tuaku amat apatis terhadap masa depan. Tapi, tidak dengan ayah. Justru ayah kepalang mendukung pendidikanku dalam meraih cita – cita. “Itu bukannya orang yang suka jualan cilok di depan sekolah? mengapa dia sekolah disini? Malu-maluin saja!” “Apakah dia mampu membayar sekolah sekeren ini? Jangan jangan ayahnya ngutang!” “Lihat! Kita harus berhati hati sama anak ini! Dari gelagatnya saja sudah menandakan bahwa dia seorang pencuri!” Itulah sambutan yang kuterima dari beberapa teman baruku. Walaupun sedikit diremehkan, bukan masalah. Di desa, hal ini sudah biasa dilakukan oleh anak sekolah sebagai candaan. Toh, di sini aku berniat semata mata untuk belajar. Aku tidak peduli dengan celotehan mereka. Selama mereka tidak mengganggu ketersediaan dan kenyamanan belajar ku, aku tak akan lawan. Aku berkenalan dengan salah satu murid yang tepat duduk di samping mejaku. Ia bernama Alyssa Aisha. Seorang perempuan desa yang berimigrasi ke kota pula. Sekarang, ia tengah tinggal di rumah pamannya. Setelah kedua orang tuanya wafat, ia tidak memiliki satupun sanak saudara untuk diajak kembali melanjutkan hidup di desa. Lalu, paman memutuskan untuk menjemput Alyssa ke kota dan menetap tinggal di sana. Dalam jangka waktu singkat, kami dapat berteman baik. Selepas ke kantin, aku dan Alyssa kembali ke kelas. Lalu terkejut melihat keadaan meja ku yang penuh dengan kotoran cicak, bahkan di kolong kursi ku terdapat cilok cilok berserakan. Tasku disiram oleh minuman bersoda. Entah siapa yang tega berbuat seperti ini. Terpaksa, aku harus menjemur tas basahku ke lapangan sekolah. Kemudian, ditertawakan oleh seluruh siswa SMA Lazuardi. Tak hanya itu, seluruh buku yang kubawa juga diserapahkan oleh teman sekelas. Parahnya, ada ancaman penghancuran gerobak cilok milik ayah jika aku mengadu kepada guru tentang apa yang mereka lakukan. Alyssa hanya menenangkan. Ia bercerita kepadaku, Alkisah di semester satu, ia juga sempat di bully oleh teman sekelasnya karena tak setajir mereka. Alyssa juga menambahkan, bahwa kawan kawan disini memang membentuk suatu komunitas yang terdiri dari golongan elit, sehingga hobby nya memberantas kaum sederhana. Namun, semenjak Alyssa menunjukkan kemampuannya dalam bidang olahraga, dan berhasil meraih prestasi sebagai Juara 1 Lomba Renang, mereka enggan lagi untuk mengganggu Alyssa. “Pada intinya, kita harus membuktikan kepada semua orang bahwa kita adalah murid yang berprestasi dan tidak bisa diremehkan,” ucapnya. ^^^ Enam bulan kemudian, pembagian rapor semester dua telah dibagikan. Meskipun aku mengambil rapor sendirian, karena ayah harus kukuh berjualan cilok. Tapi tak apa, aku tetap bersyukur. Rasanya tak sabar untuk memberikan berita bahagia ini kepada ayah karena aku berhasil meraih peringkat pertama di kelas. aku menunggu ayah pulang ke rumah.. Biasanya, beliau akan kembali setelah dagangan ciloknya habis. Lalu, memberikan nasi bungkus kepadaku dan beristirahat sejenak. Lantas, kembali bekerja sebagai pengendara angkot. Yang perlu dikhawatirkan, ayah seringkali pulang hingga larut malam, sekitar pukul 23.00. Tentu, sebenarnya aku sangat takut terhadap apa yang akan terjadi pada ayah jika pulang selarut itu. Namun, ayah hanya mengatakan tak apa. Ketika ayah datang sembari mendorong gerobak cilok, aku melambaikan tangan dari jendela. Lalu segera memberi rapor sekolah yang baru saja kuterima. Betapa bahagia nya ayah saat melabeli laporan bahwa nilaiku sangat melegakan. Ayah pun tergelak. Kamu anak yang hebat dan pintar, Tuti. *** Kalimat yang ayah lontarkan kemarin. Menuangku untuk semakin bersemangat dalam menuntut ilmu. Walaupun kenyataannya,aku sangat lelah bersekolah di swasta karena sikap teman - temanku. Aku tetap bersikeras untuk menyembunyikan pembullyan ini terhadap siapapun. Ayah tak pernah tahu masalah apa yang telah terjadi denganku saat di sekolah. Seperti dipermalukan, dikucilkan bahkan selalu diancam. Tak terasa, aku berhasil melewati masa pahit manis di SMA. Puji syukur kepada Allah, aku lulus dengan nilai yang memuaskan dan diterima sebagai mahasiswi Fakultas Kedokteran di Universitas Indonesia. Teman temanku yang sedari tiga tahun yang lalu membullyku, Akhirnya meminta maaf atas perbuatan yang telah dilakukan selama ini. Aku pun memaafkan mereka. Akhirnya, kami dapat berteman baik. Inilah yang sangat aku inginkan. **** Hari pertama OKK UI, aku berangkat dari kontrakan menuju kampus dengan mendaki ojek.Sebenarnya, aku tidak ingin membebani ayah karena naik ojek setiap hari butuh biaya ongkos lebih mahal. Aku juga tak masalah untuk jalan kaki dari rumah seperti biasanya. Tetapi, ayah kukuh melarangku. Ayah hanya tak mau melihat anak perempuannya kelelahan di tengah jalan. Selepas dari kampus, aku kembali ke rumah dengan perasaan bahagia. Aku ingin segera bercerita ke ayah tentang pengalaman pertama Ospek kampus ku. Mulai dari Pembukaan Kegiatan Mahasiswa Baru yang mengundang kantuk, hingga Pengenalan Sistem Akademik Fakultas yang sangat seru. Namun, ketika aku pulang ke rumah, aku melihat ayah sedang menangis tersedu sedu sambil menggenggam handphone milik tetangganya. “Mamak Meninggal Tut,”ucap ayah. Aku diam membisu. Seakan tidak percaya. Di kampung, mamak dinyatakan tewas di kamar mandi rumah, dan baru diketahui jasadnya setelah satu hari yang lalu. Tubuhnya pun membusuk. Sampai saat ini, sebab kematian mamak belum juga terdeteksi. Aku dan ayah benar benar larut dalam kesedihan. Sedari tadi ayah dihubungi oleh kepala desa di sana melalui telepon genggam tetangga yang kebetulan menjadi ketua RT di komplek ini. Sebenarnya, kami ingin sekali kembali ke kampung untuk turut mengubur mamak. karena jasadnya kian membusuk, mayat mamak terpaksa di kubur lebih cepat oleh warga agar bau nya tak kunjung berimbuh. Aku melewati masa kuliahku dengan baik. Aku pun tak pernah menyangka akan berakhir seperti ini. Skenario Tuhan memang paling mempesona. Sejengkal lagi, aku berhasil mewujudkan cita citaku menjadi seorang dokter. Aku juga cukup dikenal sebagai mahasiswa berprestasi di Universitas Indonesia dengan peraihan medali emas di beberapa kompetisi sains. Setelah melewati tenggak koas dan insip. Akhirnya hari wisuda yang telah lama aku nanti pun tiba dalam jangka waktu Dua hari lagi. Seluruh wisudawan dan wisudawati diberi kerenggangan waktu untuk mempersiapkan seluruh keperluan pelantikan. Sekilas, aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi ayah nanti jika namaku tengah dipanggil dan dinyatakan lulus menjadi seorang dokter umum. “Tuti, setelah kamu lulus S1, ayah ingin, kamu belajar ilmu agama lebih dalam. Ayah tak mau, kamu hanya pandai di bidang akademik. Akan tetapi, ayah juga ingin menyandang anak ayah yang pintar ini menjadi anak sholehah dan dapat memberi syafaat di akhirat kelak. Jangan pernah putus asa dalam menggali ilmu, Nak.” Aku mengangguk setuju. Di saat itu, kuputuskan untuk mulai memahfuzkan Al Quran. Selain itu, aku juga menawarkan diri sebagai guru mengaji anak PAUD. Esoknya, ini adalah hari terakhir menuju pelantikan. Namun, di hari renggang ini, aku tak lupa membantu ayah untuk berdagang cilok. Setelah semuanya siap, kubuka pintu kamar ayah sekilas, ternyata ayah masih terlelap. Tumben sekali, mungkin ayah lelah. Aku memutuskan untuk berjualan sendiri tanpa dampingan ayah. Sebelum berangkat, kubuka laci tempat penyimpanan uang terlebih dahulu. Memastikan agar tempat itu kosong sebelum nantinya akan diisi oleh kepeng lain. Ternyata, di dalamnya ada sejumlah hasil penjualan kemarin. Besarnya pun tidak sedikit. Aku terheran, mengapa ayah biarkan uang ini di pedati? Padahal, peluangnya akan raib. Tanpa ba-bi-bu, Aku mengambil uang sebanyak seratus ribu di laci gerobak. Kemudian, kembali ke rumah untuk memberikannya kepada ayah. Kubuka pintu kamar ayah, beliau masih jua terbaring. Karena tak tega untuk membangunkan, terpaksa aku membuka lemari ayah tanpa izin untuk menaruh duit. Lalu, kuletakkan di atas pakaian ayah. Di sampingnya, terselip secarik amplop rumah sakit. Karena rasa keingintahuan ku yang tinggi, aku membuka surat itu dengan perlahan agar ayah tak bangun. Betapa terkejutnya aku, melihat hasil surat pemeriksaan. Ternyata, ayah sudah mengidap penyakit kanker usus semenjak Tiga bulan yang lalu. Di sini tertera menginjaki stadium Empat. Ragaku kian melemas. Melihat ayah mendengkur saat ini di kasurnya. Sungguh, aku amat konyol tentang apa yang sebenarnya terjadi. Menyesal, itulah yang sekarang kurasakan. Selama ini aku hanya mengedepankan pendidikan hingga tak sempat menanyakan kebugaran ayah. Dengan segera, aku membangunkan ayah untuk pergi ke rumah sakit. Walaupun ku tahu, kecil kemungkinannya untuk sembuh. Kubangunkan ayah, namun tak ada setitik pun respon darinya. Detak nadi yang biasa terdengar di ujung pergelangan tangan, kini tak bisa aku rasakan. Kugoncangkan tubuh ayah dengan penuh emosi. Seakan tidak percaya bahwa ayah telah tiada. Ayah, maafkan aku. Rasanya,seperti ada bagian jiwa yang tengah patah, ketika kehilangan seseorang yang paling berharga untuk selamanya. Ayah adalah satu satunya harta. sosok pekerja keras yang dapat memotivasiku untuk terus berjuang. Setelah dimandikan dan disholatkan, ayah siap dibawa ke tempat persemayaman terakhir, dibantu oleh warga komplek sekitar. Teman kampusku juga banyak yang berkunjung ke rumah untuk berziarah atau sekadar mengucapkan belasungkawa. Selasa, 20 April 2020 aku wisuda tanpa seorangpun yang datang menghadiri dan menemanihari kebahagiaanku saat ini. Pengalungan medali kelulusan, itulah yang sangat ingin kutunjukkan oleh ayah dan mamak. Bahwa aku telah berhasil meraih cita - citaku sebagai seorang dokter. “ Nomor 95311024 Tuti Ardianti, S.Ked. Putri dari bapak Yoyo Matsuro dan ibu Suyati” Ketika namaku dipanggil, aku mendaki ke atas panggung seraya diberi toga beserta piagam oleh bapak rektor. Kemudian berfoto dengannya. Saat penyebutan nama pengampu, para wali dari wisudawan wajib berdiri tegak menyaksikan kelulusan puak. Di saat itulah para pembimbing bangga terhadapnya. Namun, ketika namaku berkibar di lentera gedung, tak ada satupun orang yang bangkit dari kursi tamu. Keadaan menjadi hening. “Tuti Ardianti, seorang mahasiswi yang telah mengukir prestasi sebagai peraih medali emas pada ajang Olimpiade Sains Nasional Tingkat Perguruan Tinggi (OSN-PTI) yang diselenggarakan oleh Institut Pertanian Bogor dan penggenggam IPK sempurna senilai 4.00, baru saja kehilangan sosok ayah kandung pada satu hari yang lalu. Meski begitu, ia tetap aktif dan bersemangat dalam meraih cita citanya. Inilah sosok pejuang yang patut diteladani,” Jelas host, dengan nada penuh lamban dan pilu. Suasana mengharu biru. Para wisudawan ikut berkaca kaca menyaksikan kemalanganku. Para hadirin yang tengah duduk dibawah panggung, Seketika berdiri dan memberikan tepuk tangan meriah. Seusai wisuda, aku ingin segera pulang ke rumah untuk beristirahat. Karena kebetulan, aku sedang tidak fit semenjak ayah tiada. Pandangan ini kosong bagaikan toples yang tak berisi . Namun, tiba tiba bapak rektor mengajakku untuk turut hadir dalam sesi foto. Meskipun aku hanya diapit oleh bapak rektor kampus beserta istrinya, ini adalah pengalaman paling berharga untuk bisa bersalindia dengan mereka. Dan aku yakin, ayah dan mamak akan selalu tersenyum dan bangga kepadaku. … Selepas kepergian mamak dan ayah, kata “wafat” menjadi sesuatu yang menakutkan bagiku. Namun, hidup adalah proses kematian yang tertunda. Aku berusaha menerimanya dengan ikhlas. Berupaya menahan rindu, untuk memperoleh kembali arti cinta terhadap keluarga. Ditulis oleh : Alifna Nur Izzati
0 Comments
Leave a Reply. |
Details
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. ArchivesCategories |