Penulis berasal dari Hulu Sungai Utara. Di tempat penulis ini nama sosok Putri Junjung Buih sudah tidak asing lagi. Kali ini penulis ingin menulis kembali siapa sosok Putri Junjung Buih? Disadur dari berbagai sumber, mari kita mulai cerita singkatnya.
Menurut beberapa penuturan, Putri Junjung Buih adalah putri dari kerajaan Negara Dipa. Dia berasal dari etnis asli Kalimantan. Putri Junjung Buih disebutkan merupakan anak angkat oleh Lambung Mangkurat. Putri ini kemundian menikah dengan Pangeran Suryanata. Dari pernikahan ini memiliki keturunan seorang pangeran yang bernama Aria Dewangga dan menikah dengan Putri Kabuwaringin, Putri dari Lambung Mangkurat. Dari pernikahan ini telah menurunkan raja-raja dari kerajaan Negara Dipa, Kesultanan Banjar, dan Kesultanan Kotawaringin. Sumber : Diolah dari berbagai sumber\ BIODATA Penulis bernama lengkap Bahriannor merupakan Duta Inspirasi Kalimantan Selatan. Saat ini penulis aktif sebagai konten kreator di media sosial. Penulis memiliki hobi bermain badminton dna futsal. Penulis dapat dihubungi melalui instagramnya @rian.enj
0 Comments
Penulis berasal dari Kabupaten Hulu Sungai Utara tepatnya desa Rintisan. Desa ini masih terbilang terpencil karena akses jalan yang masih lumayan sulit. Perahu masih menjadi alat transportasi utama warganya. Berbicara sejarah, kata Rintisan sendiri berasal dari “merintis’ yang artinya bukan memulai tapi arti dalam bahasa banjar yang maksudnya hujan gerimis. Jadi dikisahkan dahulu ada seorang masyarakat yang bernama Utar, dia menginisiasi untuk membuka lahan menjadi sungai. Awalnya karena masih kecil jadi belum disebut sungai tapi masih kali. Kali ini memiliki banyak manfaat salah satunya untuk penyebrangan batang (pohon dan kayu) oleh warganya. Disebutkan juga ketika proses pembukaan lahan ini hujan lagi gerimis atau merintis. Akhirnya wilayah ini diberi nama Rintisan. Itu tadi sejarah singkat dari Desa Rintisan yang penulis tahu. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan karena penulis menyadari kurangnya literatur dan bukti menyebabkan cerita hanya diambil dari mulut kemulut tanpa riset lebih mendalam. BIODATA Penulis bernama lengkap Bahriannor merupakan Duta Inspirasi Kalimantan Selatan. Saat ini penulis aktif sebagai konten kreator di media sosial. Penulis memiliki hobi bermain badminton dna futsal. Penulis dapat dihubungi melalui instagramnya @rian.enj CERITA RAKYAT RORO JONGGRANG CANDI PRAMBANAN
Dahulu kala, ada sebuah kerajaan bernama Prambanan. Kerajaan itu dipimpin oleh Prabu Baka. Prabu Baka adalah raja yang sangat baik. Rakyat kerajaan Prambanan pun hidup makmur. Sementara itu, di tempat lain, ada sebuah kerajaan bernama Kerajaan Pengging. Berbeda dengan Prabu Baka, Raja Pengging memiliki sifat yang sangat buruk. la suka berperang untuk memperluas kekuasaan kerajaannya. Kerajaan Pengging memiliki kesatria sakti bernama Bondowoso. Bondowoso memiliki senjata yang sangat kuat dan pasukan jin. Bondowoso lebih dikenal sebagai Bandung Bondowoso. Suatu hari, Raja Pengging ingin menaklukkan Kerajaan Prambanan. Ia pun memanggil Bandung Bondowoso untuk merebut Kerajaan Prambanan. Bandung Bondowoso langsung menjalankan tugasnya. Ia dan pasukannya menyerang Kerajaan Prambanan. Dengan sangat mudah, Bandung Bondowoso berhasil menaklukkan Kerajaan Prambanan. Prabu Baka pun tewas. Sebagai hadiah, Raja Pengging mengizinkan Bandung Bondowoso untuk mengurus Kerajaan Prambanan. Tidak disangka ternyata Kerajaan Prambanan memiliki seorang putri yang cantik jelita bernama Roro Jonggrang. Bandung Bondowoso pun memanggil Roro Jonggrang untuk menghadap, kemudian Bandung bondowoso mengutarakan niatnya untuk menikahi Roro Jongrang. Tentu saja, Roro Jonggrang kaget. Ia tak menyangka Bandung Bondowoso akan melamarnya. Padahal, Roro Jonggrang tak suka dengan Bandung Bondowoso. Bandung Bondowoso adalah orang yang kejam. Ia telah membunuh ayahnya, dan membuat rakyat Kerajaan Prambanan sengsara. Dengan tegas, Roro Jonggrang menolak pinangan Bandung Bondowoso. Mendengar penolakan itu, Bandung Bondowoso tidak terima. Ia pun mengancam Roro Jonggrang. Seketika, Roro Jonggrang menjadi ragu. Roro Jonggrang merasa bingung dengan pinangan Bandung Bondowoso. Jika ia tidak menerima pinangan Bandung Bondowoso, rakyatnya akan sengsara. Tapi, ia tidak suka dengan Bandung Bondowoso. Semalaman Roro Jonggrang berpikir, bagaimana cara menolak pinangan Bandung Bondowoso, tapi rakyatnya tetap aman. Akhirnya, Roro Jonggrang memiliki sebuah ide. Esok siangnya, Bandung Bondowoso menemui Roro Jonggrang. Roro Jongrang bersedia menerima lamaran Bandung Bondowoso dengan syarat harus dibuatkan 1000 candi dan 2 sumur dalam waktu semalam. Tanpa berpikir lama, Bandung Bondowoso langsung menyetujui syarat dari Roro Jonggrang. Malam harinya, Bandung Bondowoso dibantu oleh pasukan jinnya, membangun 1000 candi dan 2 sumur. Roro Jonggrang yang diam-diam menyaksikan hal itu, menjadi gelisah. Perkiraannya salah. Pasukan Bandung Bondowoso sangat cepat menyelesaikan pembangunan itu. Waktu sudah menginjak tiga per empat malam. Tinggal dua candi yang belum dibangun. Kemudian Roro Jongrang memikirkan bagaimana cara untuk mengagalkan Bandung Bondowoso dalam membuat candi. Roro Jonggrang memiliki sebuah ide. Ia memanggil semua dayang di istana, dan menyuruh mereka untuk membakar jerami di sebelah timur. Sebagian lain membunyikan lesung, dan menebarkan bunga yang wangi. Tujuannya agar ayam-ayam lekas bangun dan berkokok. Tanpa membuang waktu, para dayang segera melakukan perintah itu. Benar saja, ayam-ayam jantan terbangun dan mulai berkokok. Mendapati langit di timur berwarna merah, bunyi lesung, aroma wangi bunga, dan kokokan ayam, bala tentara Bandung Bondowoso bergegas pergi. Mereka mengira hari sudah pagi. Mendapati bala tentaranya pergi, Bandung Bondowoso menghentikan mereka. Bala tentara Bandung Bondowoso tetap pergi meninggalkan pekerjaannya. Semakin marahlah Bandung Bondowoso saat mengetahui bahwa semua itu ulah Roro Jonggrang. Ia menemui Roro Jonggrang, dan mengubah Roro Jonggrang menjadi candi. Kini, candi itu bernama Candi Roro Jonggrang, dan dapat ditemui di Candi Prambanan. Penulis yang akrab disapa Rifki adalah seorang anak ke tiga dari enam bersaudara, yang saat ini sedang menjalani Pendidikan di IAIN Salatiga program setudi Hukum Tata Negara. Penulis merupakan putra asli Jawa tengah tepatnya berasal dari Kabupaten Magelang, dan saat ini menjadi duta Inspiratif Indonesia provinsi Jawa Tengah. Refrensi: https://dongengceritarakyat.com/cerita-roro-jonggrang/ Cerita Legenda Asal Mula Baturaden Suta adalah pelayan di sebuah kerajaan di Jawa Tengah. Tugasnya adalah menjaga kuda-kuda raja. Suta suka berjalan-jalan setelah melakukan tugasnya. Suatu hari, ketika Suta berjalan di dekat danau, dia mendengar seorang wanita menjerit. Dengan segera Suta mencari sumber teriakan itu. Akhirnya, dia tiba di dekat pohon besar. Disana dia melihat putri raja sedang berteriak ketakutan. Di depan sang putri ada ular raksasa sedang mengancam dan memojokan. Suta sebenarnya takut, tetapi dia lebih khawatir dengan keselamatan sang putri. Jadi dia mengambil tongkat besar dan memukul ular itu di kepalanya.
Sejak hari itu, Suta dan sang putri menjadi teman baik. Lambat laun persahabatan mereka berubah menjadi saling jatuh cinta. Pada suatu waktu sang putri menyuruh Suta untuk menghadaayahnya dan meminta izin untuk menikahinya. Raja sangat marah mendengar tentang rencana mereka. Sang putri sedih mendengar jawaban ayahnya, terutama setelah ayahnya melempar Suta ke penjara karena memiliki keberanian untuk meminta menikah dengannya. Di penjara, Suta tidak diberi makan ataupun minum apa pun. Mendengar itu, sang putri membuat rencana untuk membantu kekasihnya melarikan diri dari penjara. Mereka berhasil dan mereka lari jauh. Mereka beristirahat di dekat sungai. Di sana mereka menikah dan memulai sebuah keluarga. Tempat di mana Suta dan sang putri membesarkan keluarga mereka disebut Baturaden. Batur berarti pelayan sementara raden berarti mulia. Saat ini, Baturraden adalah tempat wisata yang sangat menarik. Itu terletak di kaki Gunung Slamet di Purwokerto, Jawa Tengah. Penulis yang akrab disapa Rifki adalah seorang anak ke tiga dari enam bersaudara, yang saat ini sedang menjalani Pendidikan di IAIN Salatiga program setudi Hukum Tata Negara. Penulis merupakan putra asli Jawa tengah tepatnya berasal dari Kabupaten Magelang, dan saat ini menjadi duta Inspiratif Indonesia provinsi Jawa Tengah. Refrensi: https://dongengceritarakyat.com/asal-mula-baturaden/ CERITA RAKYAT LEGENDA GUNUNG SLAMET KARYA: Mukhammad Rifki Subkhan Pada zaman dahulu kala konon Gunung Slamet merupakan gunung yang sangat tinggi. Bahkan saking tingginya, sampai mencapai langit. Orang-orang mendengar bahwa mereka dapat mengambil bintang jika mereka berada di puncak gunung. Namun demikian tidak ada seorangpun yang berani ke sana. Orang-orang takut para dewa di surga akan marah jika orang mengambil bintang. Walaupun manusia tidak berani mengambilnya, keindahan bintang-bintang ternyata membuat beberapa kera berani naik ke puncak gunung. Dipimpin oleh raja mereka, mereka pergi ke sana dan mengambil beberapa bintang.Hal itu menyebabkan langit menjadi gelap pada malam hari. Orang-orang sedih dan para dewa marah, Batara Guru adalah pemimpin para dewa. Dia mengadakan pertemuan. Ia mengundang Batara Narada, Batara Brama, Batara Bayu, dan lainnya. Batara Narada punya ide bagaimana menghentikan monyet. Mereka akan meminta bantuan Ki Semar. Ki Semar sebenarnya adalah salah satu dewa. Dia bahkan lebih tua dari Batara Guru. Tapi Ki Semar tidak tinggal di surga. Dia tinggal di bumi bersama anak-anaknya, Gareng, Petruk, dan Bagong. Ki Semar memiliki kesaktian yang luar biasa. Dia bahkan bisa memotong puncak gunung dengan mudah. Tapi pertama-tama, dia ingin memberi pelajaran pada monyet-monyet nakal itu. Mereka harus dihukum karena mencuri bintang. Dia kemudian membuat rencana bersama anak-anaknya untuk menjebak para monyet. Gareng lalu pergi ke puncak gunung. Dia harus mengajak monyet-monyet itu untuk turun dengan memberi mereka beberapa pisang. Usaha itu Berhasil, monyet-monyet itu mengikuti Gareng. Setelah para kera meninggalkan puncak gunung, Ki Semar segera membelah puncak gunung. Sebagian besar dilemparkannya ke Cirebon. Itu menjadi Gunung Ceremai dan bagian-bagian kecilnya menjadi gunung-gunung kecil, seperti Gunung Clirit, Gunung Tapak, dan lainnya. Setelah kera meninggalkan gunung dan mengikuti Gareng, Petruk sudah siap dengan air panas. Dia berencana menuangkan air panas ke atas monyet. Dia menunggu dan menunggu tetapi monyet tidak pernah mendatanginya. Ia tidak tahu bahwa saat para monyet mengejar Gareng, mereka bertemu dengan seekor naga raksasa. Monyet-monyet itu bertengkar dengan naga itu. Sangat mengerikan sehingga monyet dan naga akhirnya mati. Karena lelah menunggu kera, Petruk kemudian meninggalkan tempat tersebut. Dia tidak membawa air panasnya dan meninggalkannya di sana. Orang-orang kemudian menamai tempat Petruk meninggalkan air panasnya dengan nama Guci. Jaraknya sekitar 50 kilometer dari Tegal, Jawa Tengah. Penulis yang akrab disapa Rifki adalah seorang anak ke tiga dari enam bersaudara, yang saat ini sedang menjalani Pendidikan di IAIN Salatiga program setudi Hukum Tata Negara. Penulis merupakan putra asli Jawa tengah tepatnya berasal dari Kabupaten Magelang, dan saat ini menjadi duta Inspiratif Indonesia provinsi Jawa Tengah. Refrensi: https://dongengceritarakyat.com/legenda-gunung-slamet/ Dahulu kala, ada sebuah negeri yang bernama Negeri Bunga yang berada di kecamatan Danau Kerinci. Di sana hiduplah seorang perempuan bernama Putri Tangguk dan suami beserta ketujuh anaknya. Putri Tangguk dan suaminya bekerja sebagai petani. Setiap hari, Putri Tangguk dan suaminya bekerja membajak sawah demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Mereka bekerja sampai lupa untuk mengurusi anak-anaknya dan juga berhubungan dengan keluarga mereka. Putri Tangguk menyadari bahwa ia pun harus mengurusi anak-anaknya serta keluarganya.
Putri Tangguk mengatakan kepada suaminya bahwa mereka harus bekerja sampai gudang persediaan padi mereka penuh sehingga mereka tidak perlu bekerja selama persediaan masih cukup. Ia mengatakan kepada suaminya demikian dan suaminya pun menyetujui. Mereka pun mulai bekerja untuk memenuhi gudang persediaan padi mereka. Suatu hari Putri Tangguk sedang berjalan ke sawah bersama dengan suami beserta ketujuh anaknya. Jalan sedang licin karena hujan yang turun. Putri Tangguk pun terpeleset. Ia marah dan memaki jalanan tersebut. Sepulang dari sawah, Putri Tangguk menabur padi di jalanan tersebut agar jalanan tersebut tidak licin. Setelah hari itu, gudang persediaan penuh oleh padi dan Putri tangguk juga suaminya tidak perlu bekerja karena persedian padi yang cukup. Ia pun bekerja menenun kain untuk mengisi waktu kosongnya sambil mengurusi anak-anak dan keluarganya. Namun, hari seperti ini itu tidak berlangsung lama. Suatu hari, ketujuh anak Putri Tangguk merengek karena kelaparan. Putri Tangguk kemudian pergi untuk memeriksa persediaan padi yang ada di gudang. Ia terkejut dan panik saat mengetahui bahwa persediaan padi sudah tidak ada di gudang. Ia tidak habis pikir karena seharusnya persediaan padi tersebut cukup untuk waktu yang lama. Sepulangnya dari gudang, ia melintasi jalan di mana ia membuang padi agar jalan tersebut tidak licin. Ia ingat bahwa ia seharusnya tidak melakukan itu. Saat malam hari tiba, Putri Tangguk bermimpi ia berjumpa dengan seseorang laki-laki tua. Laki-laki itu mengatakan bahwa Putri Tangguk beserta keluarganya akan hidup sengsara karena ia telah membuang padi di jalan. Putri Tangguk terbangun dari mimpinya lalu menangis. Ia menyesali perbuatannya. Pesan Cerita Putri Tangguk memberikan petuah dalam kehidupan manusia. Sebagai manusia, kita harus mensyukuri apa yang kita miliki. Dengan mensyukuri apa yang kita miliki, kita akan selalu merasa berkecukupan. Bersyukur adalah salah satu bagian dari sifat rendah hati. Putri Tanggung tidak bersyukur dan rendah hati sehingga ia tidak menghargai apa yang ia miliki. Ia terlambat untuk menyadari betapa pentingnya bersyukur saat apa yang ia miliki sudah tiada. Penulis nama irwin syah putra berasal dari jambi kabupaten batang hari kecamatan batin XXIV desa jangga baru, hobi membaca, menonton, exsperimen makan, masak, setatus sekarang mahasiswa tahun ke tiga di universitas Imam Bonjol Padang dengan jurusan Tadris IPA Konsentrasi Fisika Ig : irwinsyahputra0211 Gmail : irwinsyahputra0211 Duta Inspirasi Library And LinkedIn Batch #3 Subdevisi Website Pada masa itu Jambi masih menjadi bagian dari kerajaan Pagaruyung, yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Ada seorang puteri bernama Selaras Pinang Masak, yang bertempat tinggal di hulu sungai Batanghari. Karena menolak untuk tunduk kepada kekuasaan Majapahit, yang saat itu akan berpisah dari kerajaan Pagaruyung, maka sang puteri pun melarikan diri. Dalam pelarian tersebut, dirinya mendapatkan petuah untuk mencari lokasi baru sebagai tempat tinggalnya kelak . Lalu sesuai dengan petunjuk itu, Selaras Pinang Masak melepaskan dua ekor angsa jantan dan betina, di sungai Batanghari. Sambil memperhatikan kemana kedua angsa itu akan berlabuh, sang puteri menandainya sebagai titik lokasi untuk membangun istana yang baru. Akhirnya dirinya melihat kedua angsa itu berlabuh di sebuah daratan . Dan disitulah dia membangun istananya kembali. Lalu sejak itu, legenda tentang Angso Duo menjadi terkenal, dan tercatat dalam sejarah berdirinya kerajaan Melayu Jambi. Patung Angso Duo banyak terdapat di Jambi, yang sekaligus menjadi lambang dari provinsi tersebut. Penulis nama irwin syah putra berasal dari jambi kabupaten batang hari kecamatan batin XXIV desa jangga baru, hobi membaca, menonton, exsperimen makan, masak, setatus sekarang mahasiswa tahun ke tiga di universitas Imam Bonjol Padang dengan jurusan Tadris IPA Konsentrasi Fisika Ig : irwinsyahputra0211 Gmail : irwinsyahputra0211 Duta Inspirasi Library And LinkedIn Batch #3 Subdevisi Website Pada zaman dahulu, wilayah Negeri Jambi terdiri dari lima buah desa dan belum memiliki seorang raja. Desa tersebut adalah Tujuh Koto, Sembilan Koto, Petajin, Muaro Sebo, dan Batin Duo Belas. Dari kelima desa tersebut, Desa Batin Duo Belaslah yang paling berpengaruh. Semakin hari penduduk kelima desa tersebut semakin ramai dan kebutuhan hidup mereka pun semakin berkembang. Melihat perkembangan itu, maka muncullah suatu pemikiran di antara mereka bahwa hidup harus lebih teratur, harus ada seorang raja yang mampu memimpin dan mempersatukan mereka. Untuk itu, para sesepuh dari setiap desa berkumpul di Desa Batin Duo Belas yang terletak di kaki Bukit Siguntang (sekarang Dusun Mukomuko) untuk bermusyawarah. ”Sebelum kita memilih seorang raja di antara kita, bagaimana kalau terlebih dahulu kita tentukan kriteria raja yang akan kita pilih. Menurut kalian, apa kriteria raja yang baik itu?” tanya sesepuh dari Desa Batin Duo Belas membuka pembicaraan dalam pertemuan tersebut. ”Menurut saya, seorang raja harus memiliki kelebihan di antara kita,” jawab sesepuh dari Desa Tujuh Koto. ”Ya, Benar! Seorang raja harus lebih kuat, baik lahir maupun batin,” tambah sesepuh dari Desa Petajin. ”Saya sepakat dengan pendapat itu. Kita harus memilih raja yang disegani dan dihormati,” sahut sesepuh dari Desa Muaro Sebo. ”Apakah kalian semua setuju dengan pendapat tersebut?” tanya sesepuh dari Desa Batin Duo Belas. ”Setuju!” jawab peserta rapat serentak. Akhirnya, mereka bersepakat tentang kriteria raja yang akan mereka pilih, yakni harus memiliki kelebihan di antara mereka. ”Tapi, bagaimana kita dapat mengetahui kelebihan masing-masing di antara kita?” tanya sesepuh dari Desa Sembilan Koto. ”Kalau begitu, setiap calon pemimpin harus kita uji kemampuannya,” jawab sesepuh Desa Batin Duo Belas. ”Bagaimana caranya?” tanya sesepuh Desa Petajin penasaran. ”Setiap calon harus melalui empat ujian, yaitu dibakar, direndam di dalam air mendidih selama tujuh jam, dijadikan peluru meriam dan ditembakkan, dan digiling dengan kilang besi. Siapa pun yang berhasil melalui ujian tersebut, maka dialah yang berhak menjadi raja. Apakah kalian setuju?” tanya sesepuh Desa Batin Duo Belas. Semua peserta rapat setuju dan siap untuk mencari seorang calon raja. Mereka bersepakat untuk melaksanakan ujian tersebut dalam tiga hari kemudian di Desa Batin Duo Belas. Dengan penuh semangat, seluruh sesepuh kembali ke desa masing-masing untuk menunjuk salah seorang warganya untuk mewakili desa mereka dalam ujian tersebut. Tentunya masing-masing desa berharap memenangkan ujian tersebut. Oleh karena itu, mereka akan memilih warga yang dianggap paling sakti di antara mereka. Waktu pelaksanaan ujian pun tiba. Semua warga dari kelima desa telah berkumpul di Desa Batin Duo Belas untuk menyaksikan lomba adu kesaktian yang mendebarkan itu. Setiap desa telah mempersiapkan wakilnya masing-masing. Sebelum perlombaan dimulai, peserta yang akan tampil pertama dan seterusnya diundi terlebih dahulu. Setelah diundi, rupanya undian pertama jatuh kepada utusan dari Desa Sembilan Koto. Wakil desa itu pun masuk ke tengah gelanggang untuk diuji. Ia pun dibakar dengan api yang menyala-nyala, tapi tubuhnya tidak hangus dan tidak kepanasan. Ujian kedua, ia direndam di dalam air mendidih, namun tubuhnya tidak melepuh sedikit pun. Ujian ketiga, ia dimasukkan ke dalam mulut meriam lalu disulut dengan api dan ditembakkan. Ia pun terpental dan jatuh beberapa depa. Ia segera bangun dan langsung berdiri tegak seperti tidak terjadi apa-apa. Seluruh penonton kagum menyaksikan kehebatan wakil dari Desa Sembilan Koto itu. Ketika memasuki ujian terakhir, tiba-tiba suasana menjadi hening. Seluruh penonton menjadi tegang, karena ujian yang terakhir ini adalah ujian yang paling berat. Jika kesaktian wakil dari Desa Sembilan Koto itu kurang ampuh, maka seluruh tulangnya akan hancur dan remuk. Ternyata benar, belum sempat penggilingan itu menggiling seluruh tubuhnya, orang itu sudah meraung kesakitan, karena tulang-tulangnya hancur dan remuk. Penggilingan pun segera dihentikan. Wakil dari Desa Sembilan Koto itu dinyatakan tidak lulus ujian dan gagal menjadi raja Jambi. Ujian berikutnya jatuh kepada wakil dari Desa Tujuh Koto. ”Wakil dari Desa Tujuh Koto dipersilahkan untuk memasuki gelanggang,” kata salah seorang panitia mempersilahkan. Setelah beberapa saat menunggu, wakil dari Desa Tujuh Koto belum juga maju. ”Mana wakil dari Desa Tujuh Koto? Ayo, maju!” seru salah seorang panitia. “Kalau tidak berani, lebih baik mundur saja!” tambahnya. Merasa dilecehkan oleh panitia, calon dari Desa Tujuh Koto pun segera maju. “Siapa takut? Kami dari Desa Tujuh Koto dak kenal kato undur, dak kenal kato menyerah!” seru wakil Desa Tujuh Koto itu dengan nada menantang. Calon raja dari Desa Tujuh Koto pun diuji. Ia berhasil melalui ujian pertama hingga ujian ketiga. Namun, ia gagal pada ujian keempat. Akhirnya, ia pun gagal menjadi raja Jambi. Ujian berikutnya dihadapi oleh wakil dari Desa Batin Duo Belas, kemudian diikuti oleh Desa Petajin dan Muaro Sebo. Namun, wakil dari ketiga desa tersebut semuanya gagal melalui ujian keempat, yakni digiling dengan kilang besi. Oleh karena semua wakil dari kelima desa tersebut gagal melalui ujian, maka mereka pun kembali mengadakan musyawarah. “Bagaimana kalau kita mencari calon raja Jambi dari negeri lain?” usul sesepuh dari Desa Batin Duo Belas. Usulan tersebut diterima oleh peserta rapat lainnya. Selanjutnya mereka mengutus dua wakil dari setiap desa untuk pergi mencari calon raja. Keesokan harinya, rombongan itu berangkat meninggalkan Negeri Jambi menuju ke negeri-negeri di sekitarnya. Di setiap negeri yang disinggahi, mereka menanyakan siapa yang bersedia menjadi raja Jambi dan tidak lupa pula mereka menyebutkan persyaratannya, yaitu harus mengikuti keempat ujian tersebut. Sudah berpuluh-puluh negeri mereka singgahi, namun belum menemukan seorang pun yang bersedia menjadi raja Jambi, karena tidak sanggup menjalani keempat ujian tersebut. Rombongan itu pun kembali mengadakan musyawarah. ”Kita kembali saja ke Negeri Jambi. Mustahil ada orang yang mampu memenuhi syarat itu untuk menjadi raja Jambi,” keluh wakil Desa Petijan. ”Sabar, Saudara! Kita jangan cepat putus asa. Kita memang belum menemukan calon raja Jambi di beberapa negeri yang dekat ini. Tetapi, saya yakin bahwa di negeri jauh sana kita akan menemukan orang yang kita cari,” kata wakil Desa Muaro Sebo. ”Apa maksudmu?” tanya wakil Desa Petijan penasaran. ”Kita harus mengarungi samudera yang luas itu,” jawab wakil Desa Muaro Sebo dengan tenang. ”Kami setuju!” sahut wakil dari Desa Batin Duo Belas, Tujuh Koto, dan Sembilan Koto. ”Kalau begitu, kami juga setuju,” kata wakil Desa Petijan. Akhirnya, rombongan itu bertekat untuk mengarungi samudera di ujung Pulau Sumatra. Setelah mempersiapkan segala keperluan, berangkatlah rombongan itu dengan menggunakan dendang(perahu besar). Setelah berhari-hari diombang-ambing oleh gelombang laut di tengah samudera yang luas itu, mereka pun tiba di Negeri Keling (India). Mereka berkeliling di Negeri Keling yang luas itu untuk mencari orang yang bersedia menjadi Raja Negeri Jambi dengan ujian yang telah mereka tentukan. Semua orang yang mereka temui belum ada yang sanggup menjalani ujian berat itu. Pada suatu hari, mereka mendengar kabar bahwa di sebuah kampung di Negeri Keling, ada seseorang yang terkenal memiliki kesaktian yang tinggi. Akhirnya, mereka pun menemui orang sakti itu. ”Permisi, Tuan! Kami adalah utusan dari Negeri Jambi. Negeri kami sedang mencari seorang raja yang akan memimpin negeri kami, tapi dengan syarat harus lulus ujian. Apakah Tuan bersedia?” tanya salah seorang dari rombongan itu sambil menceritakan ujian yang harus dijalani calon raja itu. ”Saya sanggup menjalani ujian itu,” jawab orang itu. Rombongan itu segera membawa calon raja itu pulang ke Negeri Jambi. Setelah menempuh perjalanan selama berminggu-minggu, tibalah mereka di Negeri Jambi. Orang sakti itu disambut gembira oleh rakyat Jambi. Mereka berharap bahwa calon yang datang dari seberang lautan itu benar-benar orang yang sakti, sehingga lulus dalam ujian itu dan menjadi raja mereka. Keesokan harinya, orang sakti itu pun diuji. Seperti halnya calon-calon raja sebelumnya, orang sakti itu pertama-tama dibakar dengan api yang menyala-nyala. Orang Keling itu benar-benar sakti, tubuhnya tidak hangus, bahkan tidak satu pun bulu romanya yang terbakar. Setelah diuji dengan ujian kedua dan ketiga, orang itu tetap tidak apa-apa. Terakhir, orang itu akan menghadapi ujian yang paling berat, yang tidak sanggup dilalui oleh calon-calon raja sebelumnya, yaitu digiling dengan kilang besi yang besar. Pada saat ujian terakhir itu akan dimulai, suasana menjadi hening. Penduduk yang menyaksikan menahan napas. Dalam hati mereka ada yang menduga bahwa seluruh tubuh orang itu akan hancur dan remuk. Ini adalah saat-saat yang mendebarkan. Ujian terakhir itu pun dimulai. Pertama-tama, kedua ujung jari-jari kaki orang Keling itu dimasukkan ke dalam kilang besi. Kilang mulai diputar dan sedikit demi sedikit tubuh orang Keling itu bergerak maju tertarik kilang besi yang berputar. Semua penduduk yang menyaksikannya menutup mata. Mereka tidak sanggup melihat tubuh orang Keling itu remuk. Namun apa yang terjadi? Mereka yang sedang menutup mata tidak mendengarkan suara jeritan sedikit pun. Tetapi justru suara ledakan dahsyatlah yang mereka dengarkan. Mereka sangat terkejut saat membuka mata, kilang besi yang besar itu hancur berkeping-keping, sedangkan orang Keling itu tetap tidak apa-apa, bahkan ia tersenyum sambil bertepuk tangan. Penduduk yang semula tegang ikut bergembira, karena berhasil menemukan raja yang akan memimpin mereka. Seluruh penduduk dari Desa Tujuh Koto, Sembilan Koto, Muaro Sebo, Petajin, dan Batin Duo Belas segera mempersiapkan segala keperluan untuk membangun sebuah istana yang bagus. Selain itu, mereka juga mempersiapkan bahan makanan untuk mengadakan pesta besar-besaran untuk meresmikan penobatan Raja Negeri Jambi. Beberapa bulan kemudian, berkat kerja keras seluruh warga, berdirilah sebuah istana yang indah dan orang Keling itu pun dinobatkan menjadi raja Jambi. PENULIS Nama : Irwin Syah Putra Ig : irwinsyahputra0211 Gmail : irwinsyahputra0211 Duta Inspirasi Library And LinkedIn Batch #3 Subdevisi Website Suatu hari, Desa Bulili kedatangan seorang raja dari Sigi. Ketika sedang berjalan-jalan, sang raja berjumpa dengan seorang gadis cantik asal Bulili. Raja Sigi pun kemudian meminang gadis cantik itu. Mereke menikah dan tinggal di Bulili. Berbulan-bulan sudah Raja Sigi tinggal di Desa Bulili. Istrinya pun kemudian mengandung. Namun, ketika sang istri ingin dimanja dan disayang oleh suaminya, Raja Sigi malah mengutarakan keinginannya untuk kembali ke Sigi. “Adinda, aku harus kembali ke Sigi. Sudah cukup lama aku meninggalkan Sigi. Banyak urusan yang belum terselesaikan di sana,” ucap Raja Sigi. “Haruskah Kakanda pergi? Tidakkah Kakanda akan merasa kehilanganku dan kehilangan anak kita?” bujuk istrinya. “Rakyat Sigi membutuhkanku, Dinda. Aku harap Dinda bisa mengerti,” kata Raja Sigi lagi. “Aku dan anak dalam kandunganku ini juga membutuhkanmu, Kanda. Apakah Kanda tidak ingin menyaksikan anak kita ini lahir ke dunia?” tanya sang istri. “Bukan begitu, Dinda. Kanda yakin Dinda adalah wanita yang sangat kuat. Jadi, tunggulah kanda di sini,” ucap Raja Sigi. Keesokan harinya, Raja Sigi kembali ke negerinya. Istrinya tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak mampu menahan suaminya agar tidak pergi. Tinggallah ia di Bulili tanpa suami. Namun, ia tidak seorang diri, beberapa kerabatnya tinggal tak jauh dari rumahnya. Tetangga dan sahabat-sahabatnya dengan senang hati menemaninya siang dan malam. Bulan demi bulan ia lalui. Tanpa terasa, tibalah waktu untuk melahirkan buah hatinya. Tanpa ditemani sang suami, ia melahirkan seorang bayi yang lucu dan sehat. Semua warga Bulili ikut berbahagia menyambut kehadiran makhluk mungil itu sebagai warga baru mereka. Para pemuka desa pun mengutus dua orang tadulako yang gagah pergi ke Sigi untuk menemui Raja Sigi. Berangkatlah Makeku dan Bantili ke Sigi mengemban tugas yang diberikan pada mereka. Sesampainya di sana, mereka langsung menemui sang raja. Namun sayangnya, bukan keramahan yang mereka dapatkan, tapi justru ucapan tidak bersahabat yang keluar dari Raja Sigi. “Apa maksud kalian datang ke istanaku?” tanya Raja Sigi dengan sinis. “Maaf, Baginda. Kami diutus untuk meminta padi di lumbung Sigi. Padi itu untuk anak Baginda yang baru saja lahir,” jawab Bantili. Mendengar berita itu, Raja Sigi bukannya merasa senang, tetapi malah melecehkan kedua tadulako sakti itu. “Baiklah. Jika kalian menginginkan lumbung padi milikku, coba kalian angkat dan bawalah lumbung padi itu. Cukup kalian tahu, dengan puluhan orang saja baru bisa menggeser lumbung itu,” ucap Raja Sigi dengan angkuh. Ia pikir kedua tadulako pasti tidak akan sanggup membawa lumbung itu. Merasa diremehkan, Makeku dan Bantili segera pergi menuju ke arah lumbung padi Raja Sigi. Dengan kesaktiannya, Bantili mampu mengangkat lumbung padi yang besar itu, sedangkan Makeku mengawal Bantili dari belakang. Betapa terkejut dan marahnya raja Sigi menyaksikan lumbung padinya yang besar berhasil dibawa oleh kedua tadulako. Akhirnya, sang raja mengerahkan para pengawal kerajaan untuk menangkap dua tadulako itu. “Para pengawal, cepat tangkap orang-orang Bulili itu!” teriak Raja Sigi. Dengan sigap, para pengawal mengejar Makeku dan Bantili. Meskipun tenaga telah dikerahkan, mereka tetap tidak mampu mengejar kedua tadulako dari Bulili itu. Sampai akhirnya, tibalah Makeku dan Bantili di sebuah sungai yang sangat besar dan dalam. Para pengawal tampak senang, mereka mengira kedua tadulako itu pasti akan menyerah. Namun, ternyata dugaan mereka meleset, kedua tadulako sakti itu berhasil menyeberangi sungai dengan mudah. Meskipun Bantili membawa lumbung padi yang sangat besar, bukanlah hal yang sulit baginya untuk menyeberangi sungai. Para pengawal kerajaan yang menyaksikan hal itu hanya bisa terperangah. Mereka tidak mampu menyebarangi sungai yang lebar dan dalam seperti yang dilakukan tadulako sakti. Dengan kesaktiannya itu, Makeku dan Bantili bisa lolos dari kejaran para pengawal Raja Sigi. Mereka pun melanjutkan perjalan pulang dan akhirnya sampai kembali ke Desa Bulili dengan selamat. Sedangkan Raja Sigi menderita kerugian yang besar, karena lumbung padi kerajaannya telah dibawa ke Bulili. Pesan moral: Tepatilah janji yang sudah diucapkan. Selain itu, janganlah menjadi pemimpin yang angkuh dan sombong. penulis:
|
Details
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. Archives
May 2022
Categories |