Pulau Ternate adalah Pulau yang tidak hanya kaya akan rempah-rempah, namun juga cerita rakyat serta tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satu kisah rakyat Ternate yang menjadi legenda dan dikenang hingga masa kini adalah Cerita Asal-usul terjadinya Danau Tolire. Nuansa mistis bercampur haru mewarnai kisah klasik rakyat Ternate ini. Uniknya, tempat-tempat yang menjadi bagian dari cerita ini masih dapat kita saksikan hingga saat ini.
Alkisah seorang Ayah yang berhubungan intim dengan putrinya hingga sang putri tersebut mengandung. Padahal, sang Ayah konon adalah seorang pemimpin desa yang terletak di kaki Gunung Gamalama dan cukup dihormati oleh warganya. Setelah hubungan memalukan itu diketahui oleh penduduk desa, Ayah dan putrinya ini pun mendapatkan hukuman sosial dengan diusir dari desa tempat mereka berada. Dalam kondisi sangat malu, sang Ayah dan putrinya pun pergi dari desa tempat mereka tinggal. Namun belum sempat mereka pergi, sebuah gempa bumi dahsyat pun terjadi melanda desa tersebut. Beberapa warga percaya bahwa gempa itu merupakan hukuman dari Yang Maha Kuasa karena perbuatan maksiat antara Ayah dan putrinya tersebut. Desa itu pun terguncang dengan tanah yang retak, muncul air dan menenggelamkan seluruh desa beserta penduduknya ke dalam bumi. Akhirnya desa tersebut pun menjadi sebuah Danau raksasa yang dikenal sebagai Danau Tolire besar. Kutukan ini tidak berhenti sampai disini, sang Putri yang mengetahui datangnya bencana pun sempat melarikan diri hingga ke tepian pesisir laut. Namun, kutukan gempa tersebut tetap terjadi dan melanda tanah tempat putri tersebut berpijak. Musibah yang terjadi di desa mereka pun kembali terjadi dan menciptakan danau lainnya yang lebih kecil dan dikenal sebagai Danau Tolire kecil. Hingga saat ini, masyarakat Ternate masih mempercayai kisah Legenda ini dan menganggap Danau Tolire Besar sebagai simbol dari sang Ayah terkutuk dan Danau Tolire Kecil sebagai simbol keberadaan Putri sang Ayah tersebut. Kisah memilukan ini juga menimpa penduduk desa tersebut. Mereka ikut terkena imbas dosa dari Ayah dan putrinya itu dan Sang Kuasa pun mengutuk mereka semua menjadi buaya putih penjaga Danau Tolire Besar yang awalnya adalah desa mereka. Kisah ini memang dipercaya hanya sebatas legenda, namun menurut pengakuan warga setempat, sudah banyak wisatawan maupun penduduk lokal yang melihat langsung keberadaan buaya-buaya putih penunggu Danau Tolire Besar dengan mata kepala sendiri. Terkait kutukan ini, warga setempat juga percaya bahwa tidak ada satupun orang yang mampu melemparkan batu hingga ke tengah danau. Berbagai kisah yang terkait Legenda ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang akan berkunjung ke Danau Tolire. Bahkan, para penjual makanan yang ada di dalam kompleks obyek wisata Danau Tolire dapat menjual batu-batu kerikil untuk membuktikan bahwa tidak ada satupun yang dapat melempar batu hingga ke tengah danau. Anehnya, hingga kini memang tidak ada satupun orang yang mampu melempar batu hingga ke tengah danau. Biasanya, sejauh apapun lemparannya, lemparan itu hanya akan berakhir di pinggir danau, atau kembali ke tebing tempat berpijak. Terlepas dari kisah Legenda yang memilukan ini, Danau Tolire tetaplah danau yang sangat mempesona. Hamparan Danau seluas 5 hektar dengan kedalaman mencapai 50 meter menjadi daya tarik bagi para wisatawan. Tidak hanya itu, bila sore menjelang, baik Danau Tolire Besar maupun kecil akan menjadi tempat sempurna menikmati matahari terbenam dengan latar lautan biru nan indah. Para penduduk lokal pun memanfaatkan situasi ini untuk berdagang, biasanya pisang goreng serta kelapa muda menjadi andalan makanan yang dijual bagi para wisatawan sembari mereka menikmati waktu santai di Danau Tolire. Sumber PhosPhone Indonesia Kaya (indonesiakaya.com) Ditulis oleh : M. Khadam Th. Sangadji - DII Batch 4 Provinsi Maluku Utara
3 Comments
Dahulu kala di Padang Sumatra Barat tepatnya Perkampungan Pantai Air Manis, hidup seorang janda bernama Mande Rubayah dan anaknya bernama Malin Kundang. Malin sangat disayangi oleh ibunya, karena sejak kecil ditinggal mati oleh ayahnya. Malin dan Ibunya tinggal di perkampungan nelayan dan karena ibunya sudah tua Ia hanya bisa bekerja sebagai penjual kue. Suatu hari, Malin jatuh sakit dan tubuhnya mendadak panas sekali, Mande Rubayah panik dan sangat bingung karena sebelumnya Malin tidak pernah jatuh sakit seperti ini. Mande Rubayah berusaha sekuat tenaga dengan mendatangkan tabib untuk mengobati Malin. Nyawa Malin yang hampır melayang akhirnya dapat diselamatkan berkat kerja keras ibunya. Setelah sembuh dari sakit, Malin makin disayang. Mande Rubayah sangat menyayangi anaknya dan begitupun dengan Malin yang juga sangat sayang kepada ibunya.
Ketika dewasa, Malin pamit kepada ibunya untuk pergi merantau dan mencari pekerjaan. Disaat yang bersamaan, kapal besar sedang merapat di Pantai Air Manis. "Bu.. ini kesempatan besar bagi saya, belun tentu setahun sekali ada kapal besar yang merapat di pantai ini. Malin janji akan merubah nasib kita dan menjadi kaya raya" kata Malin. Walaupun dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengijinkan anaknya untuk pergi. Malin membawa bekal nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus. Hari berlalu terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Ia memandang ke laut dan bertanya dalam hati, sampai di manakah anaknya kini? Bagaimana jika ada ombak ataupun badai besar yang menghempas ke pantai? Dadanya berdebar-debar dan langsung menengadahkan kedua tangannya sembari berdo'a agar anaknya selamat dalam pelayaran. Jika ada kapal yang datang merapat, Mande Rubayah selalu menanyakan kabar tentang anaknya. Namun semua awak kapal atau nakhoda tidak pernah memberikan jawaban yang memuaskan untuknya. Hari berlalu begitu cepat, Malin tak pernah menitipkan pesan apapun kepada ibunya. Sedangkan Mande Rubayah bertahun-tahun menunggu kabar dari anaknya hingga tubuhnya semakin tua dimakan usia. Jika berjalan Ia mulai terbungkuk-bungkuk. Suatu hari, Mande Rubayah mendapat kabar dari nakhoda yang dulunya membawa Malin bahwa sekarang Malin telah menikah dengan gadis cantik dan merupakan putri seorang bangsawan kaya raya. Mande Rubayah turut gembira mendengar kabar tersebut. la juga selalu berdo'a agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya. "Ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang.."rintih Mande Rubayah tiap malam. Namun hingga berbulan-bulan semenjak Ia menerima kabar Malin belum juga datang menemuinya. Mande Rubayah tetap yakin suatu saat Malin pasti akan kembali. Harapan Mande Rubayah akhirnya terkabul, di hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal berlayar menuju pantai. Kapal tersebut terlihat megah dan bertingkat-tingkat. Hingga Orang kampung mengira bahwa kapal itu milik seorang sultan atau raja, dan mereka menyambutnya dengan gembira. Ketika kapal mulai merepat, tampak sepasang muda-mudi berdiri di anjungan. Pakaiannya berkilau terkena sinar matahari, wajah mereka cerah dihiasi senyum dan tampak bahagia karena disambut dengan meriah. Mande Rubayah ikut berdesakan untuk mendekati kapal. jantungnya tak berhenti berdebar. Dia yakin bahwa lelaki muda itu adalah anak kesayangannya Malin Kundang. Tetua desa belum sempat menyambut, ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin dan langsung memeluknya dengan erat. Seolah takut kehilangan anaknya lagi. "Malin, anakku…" katanya menahan isak tangis karena merasa gembira, "Nak.. mengapa kau begitu lama tidak memberi kabar?" Malin terpana karena dipeluk oleh wanita tua yang berpakaian compang-camping dan tentu tak tercaya bahwa wanita itu adalah Ibunya. Malin hanya mengingat bahwa ibunya adalah seorang wanita berbadan tegar dan kuat menggendongnya ke mana saja. Malin belum sempat berpikir dengan tenang, istrinya yang cantik meludah sambil berkata, "Hahh? Wanita buruk inikah ibumu? Kau membohongi aku? Bukankah dulu kau katakan Ibumu adalah seorang bangsawan sederajad dengan kami?". Mendengar perkataan istrinya, Malin Kundang mendorong wanita itu sampai terguling ke pasir. Mande Rubayah tidak percaya apa yang dilakukan anaknya, Ia jatuh dan terduduk sambil berkata, "Malin, Malin, anakku. Aku ibumu, Nak!" Malin Kundang tidak menghiraukan yang dikatakan ibunya. Pikirannya sangat kacau karena ucapan istrinya. Jika wanita itu benar ibunya, diapun tidak akan mengakuinya karena merasa malu. Wanita itu Kembali beringsut dan hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata,"Hai, Perempuan tua! Ibuku tidak mungkin sepertimu yang melarat dan dekil!" dengan intonasi yang tinggi. Wanita tua itu terkapar di pasir dan semua orang terdiam. Tak disangka Malin yang dulunya sangat disayangi olehnya tega berbuat demikian. Mande Rubayah pingsan dan terbaring sendiri di tepi pantai dan saat sadar, Pantai Air Manis juga sudah sepi. Di laut Ia melihat kapal Malin yang semakin menjauh. Hatinya perih rasanya seperti ditusuk. Hingga tangannya ditengadahkan ke langit dan berseru dengan hatin yang pilu,"Ya Allah yang Maha Kuasa, kalau dia bukan anakku, aku maafkan perbuatannya. Tapi kalau memang dia benar anakku, Malin Kundang, aku mohon keadilan-Mu, ya Tuhan...." Tidak lama kemudian, cuaca di tengah laut yang sebelumnya cerah mendadak berubah menjadi gelap. Hujanpun tiba-tiba turun dengan lebat. Entah bagaimana awalnya tiba-tiba datang badai beşar menghantan kapal Malin Kundang, disusul sambaran petir yang menggelegar. Seketika kapal tersebut hancur berkeping- keping dan terhempas ombak hingga ke pantai. Matahari pagi memancarkan sinarnya dan badaipun telah reda. Di kaki bukit terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu, dan itulah kapal Malin Kundang. Tak jauh dari tempat tersebut terlihat sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia. Konon itulah tubuh Malin kundang si anak durhaka yang terkena kutukan menjadi batu dari ibunya. Di sela-sela batu tersebut berenang ikan teri, ikan belanak, dan ikan tenggiri. Konon, ikan tersebut berasal dari serpihan tubuh sang istri yang mencari Malin Kundang. Demikianlah, dan sampai sekarang, jika ada ombak besar menghantam batu yang mirip kapal dan manusia itu, terdengar bunyi seperti lolongan jerit manusia. Sungguh terdengar sangat memilukan. Kadang bụnyinya seperti orang meratap dan menyesali diri. “Ampuuun, Bu.! Ampuuun, Buuuuu...!" konon itulah suara Malin Kundang. Orang yang durhaka kepada kepada ibunya, orang tersebut tidak akan masuk surga kecuali telah mendapat pengampunan sang ibu. Sumber : Rahimsyah, M. B. (2004). Kumpulan cerita, legenda, dongeng rakyat nusantara. Jakarta: Bintang Indonesia DItulis oleh: Muh. Ilham. DI Batch 4 Provinsi Sulawesi Selatan |
Details
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. Archives
May 2022
Categories |