Tes tes. Suara mikrofon menggema di seluruh ruangan. Hari ini tepat tanggal 10 Juni 2010 kami angkatan ke-20 fakultas hukum, resmi menyandang gelar starta satu dengan bangga. Setelah selama 4 tahun bertahan akan pasang surutnya proses yang terbilang tak mudah itu, akhirnya kami bisa menjalani hidup yang sesungguhnya. Kebanyakan orang bilang jika skripsi adalah cobaan hidup yang berkepanjangan. Bagaimana tidak? Jika setiap saat kita harus di tuntut dengan ini dan itu, salah ini dan itu belum lagi dengan deadline yang memacu adrenalin. Hufft.. itu proses yang menjadi kenangan ter mengerikan namun terindah dalam usia sekarang ini. Namun setelah peresmian wisudawan dan wisudawati hari ini selesai, ini lah kisah hidup sesungguhnya yang harus kami jalani dengan berbekal ilmu dan sedikit pengalaman tanpa bayaran.
“Baik anak-anak semua, hari ini saya merasa bangga kepada kalian semua. Menjalani semua proses tanpa rasa lelah, tetap semangat meski terkadang cobaan kalian berbeda-beda. Selalu kompak dalam segala hal, membantu sesama tanpa memikirkan imbalan. Ketika saya melihat kalian semua bahkan berkomunikasi dengan kalian, saya merasa jika saya masih muda. Ingin berjuang bersama kalian dan ingin melangkah bersama kalian semua. Namun, jalan kita telah berbeda. Baik secara langsung maupun tidak, kita masih lah sama. Sama-sama menjalani hidup dengan penuh tantangan hanya saja, saya sedikit lebih tua dan kalian berada 10x lebih muda dari saya. Aneh memang jika saya harus menuntut kalian ini dan itu secara terus-menerus, tapi yakinlah jika semua yang saya lakukan kepada kalian semua itu demi kebaikan kalian. Jujur dengan perasaan saya kepada kalian, saya sayang dan peduli terhadap kalian. Tapi, semua orang memiliki caranya masing-masing dalam mengekspresikan nya termasuk saya. Berjanjilah kepada saya dan diri kalian masing-masing, dimana pun tempat kalian bertugas nanti kalian harus menjunjung tinggi rasa sosialisme dan taatilah peraturan pemerintah yang sah yaitu Pancasila dan UUD 1945.” Suara Professor yang tenang namun menusuk, membuat kami semua menundukkan kepala. Sekilas terdengar di telinga ku ada yang menangis tersedu namun ada juga yang termenung sambil memandang lurus Prof. Adi Jaya. Mungkin mereka memikirkan kenangan demi kenangan selama menjalani hidup sebagai mahasiswa di kampus ini. Bisa juga mereka sedang memikirkan segala tingkah konyol dan nakal selama di sini. Entahlah aku juga tidak bisa menerka apa yang sedang mereka pikirkan. “Dan sekarang tibalah saatnya saya mengumumkan mahasiswa terbaik tahun ini,” ucap Prof. Adi Jaya. Pernah sekilas dalam benakku jika aku mengharap aku lah yang di nobatkan menjadi mahasiswa terbaik dalam acara kelulusan ku. Bangga mungkin jika aku bisa mendapatkan gelar itu. Memang kedua orang tua ku tak pernah menuntut ku ini dan itu, tapi apakah salah jika aku berharap memberikan yang terbaik untuk mereka. Memang bukan suatu kebanggaan yang hakiki tapi, itu semua adalah salah satu bukti jika kedua orang tua ku telah berhasil mendidik ku hingga mencapai kesuksesan tahap pertama. “Bismillah aku bisa,” ucapku dalam hati. “Dan dia adalah ... Devan Pramudipta.” Sorak Prof. Adi Jaya. “Alhamdulillah,” syukur ku seketika kala nama ku di sebut. Dengan bangga dan di sertai tepukan serta ucapan selamat dari teman-teman ku, aku melangkah dengan bangga menuju podium. Ku tatapkan pandangan ku kedepan tanpa memutus rasa syukur dalam hati ku. Dengan muka cool aku mantapkan langkah ku satu persatu tanpa menoleh sekeliling ku. Memang aku di kenal sebagai mahasiswa berprestasi yang cool dan kutu buku. Aku bukan memilih pertemanan, namun selama aku kuliah aku hanya fokus dengan tujuan utama dan itu bukan berarti aku tidak memiliki teman dekat. Selain mahasiswa berprestasi aku juga salah satu most wanted di kampus ini. Orang bilang muka ku tak begitu jelek, bahkan sangat indah untuk di nikmati apalagi bernilai plus dengan gaya cool ku. “Selamat Devan.” Kata Prof. Adi Jaya sambil mengalungkan mendali ke leher ku. “Terimakasih Prof.” Jawabku sambil tersenyum. Setelah itu mulailah hadiah, piala serta ucapan selamat mengalir kepada ku yang di berikan oleh para dekan, rektor maupun professor lainnya. Tak bisa ku bendung senyum di wajah ku selalu menghiasi kala para petinggi kampus memberi ku ucapan selamat. Dan terdengar pula suara-suara burung yang mengatakan takjub dengan sekilas senyum ku. Memang ku akui jika aku sedikit sekali untuk tersenyum, bukan tak pernah tersenyum hanya saja sedikit tersenyum. “Silahkan berikan sepatah dua patah sambutan anda.” “Selamat pagi menjelang siang semua. Sebelumnya saya ingin bersyukur kepada Allah yang telah memberikan dan mempercayakan sedikit ilmu dari-Nya kepada saya. Karena tak bisa di pungkiri jika semua yang saya dapatkan tak lain dan tak bukan itu karena anugerah dari-Nya. Kedua, saya bersyukur memiliki orang tua yang hebat seperti kedua orang tua saya yang rela berkorban mati-matian demi saya, orang pertama yang mengenalkan dunia kepada saya melalui cerita-cerita yang dibacakan setiap malamnya, orang pertama yang membangun karakter saya melalui buku-buku yang mereka rekomendasi kan kepada saya, orang pertama yang mengajarkan saya arti kehidupan melalui kisah-kisah yang sangat menakjubkan dan orang pertama yang mengajarkan saya apa arti buku sesungguhnya. Bukan perkara mudah untuk saya mendapatkan gelar ini, kalian semua bahkan tahu jika saya hanya mahasiswa yang hidup dengan beasiswa. Hidup sederhana bukan menjadikan saya untuk menyerah pada satu situasi, namun menjadikan saya tantangan tersendiri yang begitu berarti. Jika saya tidak memiliki orang tua hebat seperti mereka, maka hari ini tidak ada seorang Devan Pramudipta yang berdiri di depan kalian semua.” Ucap ku sambil menahan air mata bahagia. Ku tatap kedua orang tua ku di sana, yang sama halnya sedang menatap ku sambil menangis bahagia. “Lalu saya juga mengungkapkan terimakasih kepada para dekan, rektor, Professor, pengacara serta para staff yang membantu saya dari nol hingga sekarang. Terimakasih untuk segala ilmu yang tertulis maupun pengalaman tanpa imbalan yang telah kalian berikan kepada saya khususnya dan kepada kami semua anak didik kalian. Tanpa kalian kami bukan apa-apa. Maaf jika selama kamu disini banyak membuat kalian marah kecewa bahkan benci kepada kami. Sejujurnya tak pernah terbesit dalam benak kami untuk membuat kalian kecewa, namun terkadang kondisi mampu membalikkan akal sehat. Dan terimakasih kepada teman-teman semua yang telah mensupport saya, memberikan dukungan kepada saya serta membantu saya dalam keadaan apapun. Sejujurnya aku bangga memiliki kalian semua. Love you all. Terimakasih.” Aku sedikit membungkuk kan badan ku memberikan penghormatan kepada mereka serta tanda akhir dari pidato ku. Ku langkahkan kaki ku menuju tempat semula disertai dengan sorakan dan tepukan tangan dari teman-teman ku. Senang rasanya bisa sampai detik ini and welcome my new life. *** “Devan ayo bangun sayang,” kata ibu yang membangunkan ku sambil mengguncang kan tubuh ku. “Bu, five minutes ok,” jawabku tanpa membuka mata. “Ayo Devan katanya kamu mau memandikan Joni, nanti Joni kesiangan mandinya.” Ucap ibu lagi. Joni, dia adalah kambing kesayangan ku yang sudah aku rawat dari mulai bayi hingga sekarang. Dan usia Joni sekarang terkisar hampir 2 tahun lebih. Bisa di bayangkan betapa sayangnya aku pada Joni. Mendengar nama Joni di sebut, seketika mata ini terbuka dengan sendirinya. “Ah, ibu selalu tahu cara membangunkan ku,” gerutu ku pada ibu. “Haha ayo sekarang bangun cuci muka lalu sarapan. Setelah itu mandi dengan Joni di sungai.” Perintah ibu. “Baik Bu.” Setelah ibu pergi aku bangun dan segera membenahi kamar ku sendiri. Memang, mulai dari dini aku sudah di ajar kan ibu untuk membersihkan tempat tidur ku sendiri sekalipun aku laki-laki. Dan entah bagaimana caranya ibu selalu bisa membujukku dengan jurus seribu bahasanya. Setiap malam ibu selalu membacakan buku kepada ku sebelum aku tidur dan itu rutinitas yang tidak bisa lepas dalam diri ku. Bahkan setiap minggu ayah selalu mengajakku ke kota hanya sekedar membeli buku atau membaca buku di gramedia. Dan hari minggu lah yang selalu aku nanti-nantikan. “Assalamualaikum ayah ibu,” sapa ku setelah sampai meja makan. “Waalaikumussalam ayo sarapan lalu mandikan Joni.” Jawab ayah. “Baik ayah.” *** “Hai Joni sudah siap untuk mandi,” ucap ku pada Joni sambil membelai nya. Embekkkk “Let’s go.” Meskipun aku baru kelas 2 SD namun aku sedikit tahu tentang bahasa Inggris, karena ayah dan ibu selalu mendidik ku untuk membaca setiap hari meski hanya 10 menit sehari. Awalnya aku juga hidup seperti anak-anak di usia ku. Malas membaca, malas belajar yang ada di pikiran ku hanya bermain bermain dan bermain. Hingga suatu hari aku di kurung selama sehari di dalam kamar dan hanya di perintah untuk membaca, membaca dan membaca. Memang sudah bukan hal yang baru bagi ku tentang masalah buku, namun ini lain. Jika setiap malam ibu ataupun ayah yang membaca sekarang, aku yang di tuntut untuk membaca. Karena ayah baik pada ku, semua buku di dalam kamar ku berisi tentang komik dan animasi lainya yang aku suka. Mulai hari itulah aku jadi suka membaca dan sedikit demi sedikit mulai mengerti betapa pentingnya membaca dan berharganya buku. “Sebentar ya Joni aku letakkan tas serta sandal aku dulu di sana, kamu di sini jangan ke mana-mana oke.” Ku letakkan tas berisi baju ganti, buku dan sabit di bawah pohon rindang tempat biasa aku meletakkannya. Biasanya jika masih jam 07:30 wib masih sedikit orang yang pergi ke sungai dan akan ramai jika sudah pukul 08:00 wib. Setelah meletakkannya, segera aku berlari menuju Joni dan mulai bermain air sambil mandi. Oh sungguh segar sungai pagi hari, bersyukur aku yang masih menjumpai jernihnya air sungai dan indahnya pedesaan. Setelah kurang lebih 30 menit aku bermain air bersama Joni dan ku rasakan kulit ku yang sudah menggigil, aku putuskan untuk menyudahinya. Aku ikat Joni didekat ku lalu aku ganti pakaian ku dengan yang kering. Ku peras baju basah ku lalu aku jemur di tempat biasa dekat dengan Joni yang sedang makan rumput. “Joni kamu di sini ya aku mau ke sana mengumpulkan rumput untuk kamu makan di rumah nanti.” Kata ku pada Joni dan Joni hanya mengendus-endus badan ku seolah tahu apa yang aku katakan pada nya. Sekitar 45 menit aku mengumpulkan rumput, akhirnya karung yang aku bawa telah terisi penuh. Segera aku tali dengan erat lalu aku bawa mendekat ketempat dimana Joni berada. Setelah itu sambil istirahat aku ambil buku dalam tas ku lalu ku baca kelanjutan cerita yang sudah aku baca kemarin. Ibu dan ayah memang tidak mengkhususkan aku untuk membaca yang berbobot berat, namun sebagai anak muda aku harus bisa mengatur dalam kondisi seperti apa yang harus aku baca. Tak lupa pula sesekali aku arahkan pandangan ku pada Joni hanya memastikan apakah Joni masih ada atau bersembunyi di balik rerumputan. Hehe ada-ada saja aku ini. “Woi Devan.” Teriak Bagus tepat di telinga ku. “Astagfirullah Gus, untung kamu enggak di seruduk Joni,” ucap ku kesal pada Agus. Untung jantung ku sehat, coba kalau bergeser sedikit bisa gawat kan aku kalau bernafas. “Hehe maaf ya Joni, aku buat sahabat kamu terkejut.” Kata Agus sambil terkekeh. Embekkkk “Kenapa kamu baru datang Gus?” Tanyaku pada Agus. “Soalnya si Beti lagi ngambek enggak mau mandi, masih ngantuk katanya.” Jawab Agus sambil membelai Beti. Aku beritahu nih sama kalian semua, lalu Beti itu kambing betinanya si Agus. Dia lebih kecil dari pada si Joni, Joni itu sayang banget sama Beti ke mana-mana berdua kalau di ibaratkan nih, mereka seperti sepasang kekasih wkwk. Eh tidak-tidak lebih tepatnya seperti seorang kakak yang melindungi adiknya. “Itu mah memang dasarnya kamu Gus yang telat bangun.” “Hehe tahu aja kamu Van. Iya tadi malam aku habis main catur sama kak Seto, sampai enggak terasa kalau sudah tengah malam,” jelas agus “oh iya nanti kamu pergi ke kota sama pakde ya?” Tanyanya lagi. “Iya, kamu mau ikut? Kebetulan nanti siang ibu enggak ikut.” Ajak ku pada Agus. “Mau sih, tapi kamu kan tahu kalau aku enggak punya uang untuk beli buku.” Kata Agus lesu. “Tenang di sana kamu enggak selamanya harus membeli buku, cukup kamu datang pilih buku duduk baca setelah selesai kamu kembalikan lagi deh bukunya,” jelas ku. “Memang boleh?” “Boleh biasanya kalau aku enggak punya uang juga aku selalu seperti itu. Kan lumayan bisa mengoleksi banyak cerita meski kita tidak memilikinya,” tutur ku “oh iya kalau kamu takut lupa dengan yang kamu baca, kamu bisa membawa note dan pensil jadi kamu bisa mencatatnya biar enggak lupa. Kan kamu suka tuh dengan catur, kamu bisa membaca cara jitu bermain catur supaya bisa mengalahkan kak Seto.” Terang ku lagi. “Em ... iya juga ya, siapa tahu aku bisa lebih jago dari pada kak Seto,” kata Agus sambil mengusap dagunya. “Ayo nanti pukul 11:00 wib ya kita berangkat.” “Siap. Nanti aku izin ke ibu dulu ya.” “Udah kamu bilang saja sama budhe kalau perginya sama Devan si cowok tampan pasti langsung di izini.” Ucap ku sambil menepuk dada ku. “Dasar sombong kamu ya. Kebanyakan baca buku jadinya kebanyakan mengkhayal.” Toyor Agus pada ku. “Memang kamu belum tahu jika cowok yang suka membaca buku seperti ku menambah ke ganteng dan karisma dalam tubuhnya.” Bela ku. “Memang iya?” Tanya Agus. “Kamu kok ngeyel sih jadi orang.” Jawab ku sambil melipat kedua tangan. “Haha ternyata cowok ganteng bisa marah juga toh,” kata Agus sambil tertawa. “Kamu mengerjai ku ya.” Ucap ku sambil melotot kan mata. “Sudahlah Devan kamu itu cowok masa mudah marah. Jadi cowok ganteng itu bukan hanya gemar membaca tapi juga harus kuat tidak boleh mudah marah.” Jelas Agus pada ku. “Oh iya! Tapi buku yang aku ba-“ “Buku yang kamu baca kebanyakan genre anak-anak Devan. Coba kamu sekali-kali baca buku yang besar, sebesar kamus pasti cowok ganteng itu cowok cool.” Potong Agus. “Kamu tahu dari mana?” tanya ku penasaran. “Dari kak Seto.” Jawabnya enteng. “Oh pantesan kak Seto orang nya pendiam tapi cerdas ya. Mungkin karena kak Seto rajin membaca buku.” Kata ku mengangguk-angguk kepala tanda mengerti. “Iya benar. Kamu harus tahu kalau di dalam kamar kak Seto ada banyak buku besar-besar, kata kak Seto meskipun kita orang desa tapi kita harus mampu membanggakan negara.” “Wah ternyata aku belum terlalu pintar ya. Kalau begitu aku harus lebih rajin lagi membaca bukunya.” Tekad ku. “karena umur kita jauh berbeda dengan kak Seto, makannya kita kalah jauh. Wong kak Seto uwes tuo,” kata Agus cekikikan. “Hus bukan tua tapi dewasa.” Jawab ku sambil geleng-geleng kepala. Memang Agus ini termasuk sahabat ku yang pandai baik main catur atau pun pelajaran. Dia memiliki seorang kakak yang namanya kak Seto. Kak Seto sekarang tengah duduk di senior high school terkenal di kota kami, seminggu sekali dia selalu pulang kampung katanya kangen dengan suara sungai di desa. Kak Seto bersekolah di kota juga karena beasiswa, meski kak Seto pintar dan tampan tapi dia tidak pernah sombong. Sekali-kali dia juga membantu memberikan ilmunya kepada kami anak-anak desa. “yo wis engko lah tuo karo gede kwi podo.” Bela Agus lagi. “Ya asalkan jangan sampai kak Seto dengar,” ucap ku sambil tertawa “ya udah sekarang aku pulang dulu ya prepare untuk ke kota.” Lanjut ku. “Halah guaya ne prepare, wong deso dadak pakek boso Inggris,” kata Agus medok dengan bahasa jawanya. “Orang ganteng mah bebas Gus. Assalamu’alaikum.” Teriak ku pada Agus. *** “Wah besar ya gramedianya pakde.” Kata Agus takjub. “Iya lebih besar dari pada perpustakaan desa kan” jawab Ayah “ya udah ayo masuk.” Kami pun masuk bersama-sama dan langsung menuju tempat penjaga. Karena aku dan ayah sudah sering ke sini maka ayah memiliki kartu perpustakaan ini, jadi jika ayah ingin meminjam buku maka di perbolehkan asal mengembalikan nya pada waktu yang telah di tentukan. Setelah masuk ayah langsung membawa kami ke lorong di mana di sediakan nya buku cerita anak-anak. “Pakde, aku mau membaca jurus jitu main catur supaya bisa mengalahkan kak Seto.” Kata Agus. “Baiklah mau pakde antar atau kamu sendiri?” tanya ayah menawarkan pada Agus. “Agus sendiri saja pakde. Pakde beritahu Agus saja di mana lorongnya.” Jawab Agus. “Memang kamu berani?” tanyaku sedikit ragu. “Owh kamu meremehkan aku ya,” jawab Agus tidak terima. “Nanti kalau kamu kesasar lalu ketinggalan gimana.” Kata ku lagi. “Enggak bakal aku-“ “Udah kamu jalan lurus aja Gus, lalu belok kiri. Setelah itu kamu baca di lemari buku, di sana sudah ada tulisan tempat buku apa” Lerai ayah “setelah itu kamu harus kembali lagi di depan dekat pintu keluar, nanti pakde tunggu di sana lalu kamu bisa membaca buku mu di sana juga.” Jelas ayah lagi. “Baik pakde.” Kata Agus sambil berjalan meninggalkan kami. “Ayah aku mau ke sana dulu ya.” Izin ku pada ayah. “Ya sudah nanti ayah tunggu di tempat biasa ya.” Kata ayah. “Baik ayah.” Aku pun akhirnya pergi ke lorong buku. Setelah mendapatkan bukunya aku segera menuju ke tempat ayah. Tak selang berapa lama Agus pun mendekat dengan membawa bukunya. Tak terasa sudah hampir 3 jam kami membaca buku. Lalu ayah mengajak kami untuk pergi makan setelah itu baru kami pulang ke desa. Setelah sampai di rumah, aku buka kembali note yang aku tulis tadi dan aku mulai mengerjakan soal-soal nya. Iya memang selain membaca buku cerita, aku juga membaca buku matematika untuk menambah trik-trik cara menghitung dengan cepat dan akurat. Kegiatan tersebut terus berlanjut hingga aku dewasa. Ketika kelulusan SD aku berhasil mendapatkan nilai UN tertinggi se Jawa tengah. Dengan pencapaian itu aku pun mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan SMP ku pada sekolah favorit di kota. Tak banyak yang berubah dengan ku, meskipun aku sudah menginjak kan usia remaja tetapi kegiatan yang aku lakukan tetaplah sama. Bahkan semakin bertumbuh menjadi dewasa, semakin terbentuk lah karakter ku yang cuek dan masa bodo. Selama ini tak pernah terfikir dalam benak hati ku untuk mengenal cinta. Mungkin tak bisa di pungkiri jika aku pernah merasakan kekaguman pada seorang wanita, hal itu wajar bukan? Bahkan jika aku tak memiliki rasa maka itu baru tak wajar. Pernah sekali aku mengalami fase dimana aku hidup seperti tanpa tujuan. Yang terpikir kan dalam angan ku hanyalah, bagaimana cara nya untuk mendapatkan wanita cantik dan anggun seperti Rose. Banyak waktu yang terbuang sia-sia hanya untuk memikirkan nya. Tak pernah lagi aku mengunjungi perpustakaan kota atau pun desa, jangankan perpustakaan aku bahkan meninggalkan belajar ku hanya untuk mengejar cinta sesaat. Di usia ku yang masih SMA mungkin masa pencarian jati diri sehingga emosi pun belum terkendali, dan yang terpikir pada waktu itu hanya lah bagaimana cara nya bisa mendapatkan nya secepat mungkin tanpa memikirkan risiko ke depannya. Hingga suatu hari, ku melihat dengan mata kepala ku sendiri dan mendengarnya secara langsung. Bahwa Rose mendekati ku hanya untuk mendapatkan bantuan ku dalam mengerjakan PR ataupun tugas lainnya. Betapa hancur aku saat itu, berharap semua akan indah sampai maut memisahkan. Namun, harus aku makan mentah-mentah jika aku hanya di manfaatkan sesaat. Bagaimana dia bisa sejahat ini, apakah dia tidak melihat perjuangan ku padanya. Apakah dia tidak melihat aku sudah mengorbankan segalanya untuk nya. Waktu tenaga bahkan hati ku pun sudah aku berikan sebaik-baiknya pada Rose, namun apa yang aku dapatkan. Aku tidak menangis waktu itu, karena menangis pantangan bagi ku. Ayah pernah berpesan pada ku,” apa pun yang telah kamu mulai selesaikan lah. Dan jika di tengah jalan kamu mengalami masa sulit ingat jangan menangis dan putus asa, percayalah jika setelah masa sulit itu kamu akan bahagia untuk selamanya.” Dan mulai saat itu juga aku berjanji pada diri ku sendiri, sebelum aku mendapatkan apa yang aku inginkan maka aku akan menomor akhir kan soal cinta. Karena itu, setelah hari itu aku selalu menyibukkan diri dengan membaca buku ataupun menulis buku. Meskipun aku seorang laki-laki, aku sangat gemar sekali akan menulis. Bagi ku menulis adalah fase dimana aku bisa mencurahkan isi hati ku dan melepaskan beban batin yang tak bisa aku ungkapkan secara langsung. Selain aku mencintai buku, aku sangat suku dengan kamera. Sudah banyak keindahan alam yang berhasil aku abadikan dalam potret ku. Bahkan aku juga masuk dalam ekstra kurikuler fotografi pada saat kuliah dulu. Pengalaman ku pada SMA yang menyakitkan, berbalas manis ketika kuliah. Seandainya aku tidak terluka, maka tidak ada seorang Devan cuek dan berbakat hari ini. Seandainya aku tidak terluka, maka tingkat membaca ku tidak akan tinggi. Dan jika aku tidak terluka, maka kehidupan ku tidak akan berubah karena membaca. Hingga sampai hari ini, hari dimana wisuda ku di gelar. Tak menyangka jika aku di nobatkan menjadi mahasiswa terbaik tahun ini, meskipun memang sejujurnya aku berharap tapi aku tidak menyangka jika aku bisa meraihnya. Memutuskan sesuatu memang tidak mudah, tapi yang lebih tidak mudah lagi adalah bagaimana kita bisa konsisten dan terus menjaganya. Seperti saat ini, ketika aku mendapatkan predikat sebagai yang terbaik itu adalah amanah yang aku inginkan dan harus aku jaga. Menjaga dalam artian, bagaimana aku bisa menjaga amanah dari ilmu yang aku dapat, bagaimana caranya aku bisa bermanfaat bagi semua orang, dan bagaimana caranya dengan ilmu dan pengalaman yang aku dapatkan, aku bisa menarik paling tidak anak-anak untuk semakin gemar membaca dan belajar. Karena sejatinya kesuksesan bukan dia yang terus belajar tanpa henti, atau pun bekerja siang malam tanpa kenal waktu. Bukan! Kesuksesan itu adalah relatif. Kesuksesan itu tergantung dari mana kita melihat tujuan kita, sudah bisa kah kita mencapai apa goals kita sebenarnya dan bisakah dengan adanya goals dan achivement bisa bermanfaat bagi sekitar kita dan yang paling penting bisakah kita membantu mencerdaskan negara. Keberhasilan tidak datang begitu saja, namun keberhasilan datang ketika kita telah berkeringat dan mandi darah. Karena sesungguhnya keberhasilan yang abadi itu keberhasilan yang memiliki akar kuat dan meluas, sehingga tidak mudah goyah meskipun angin menghantam. Dan untuk membentuk akar yang kokoh mulailah sedini mungkin untuk gemar membaca, karena tidak ada orang sukses yang tidak suka membaca. Ingatlah jika membaca adalah jendela dunia, membaca mencerdaskan bangsa dan membaca menjadikan kita membuka wawasan seluas mungkin dan selebar mungkin. Ditulis oleh : Hesti (MERANGIN, JAMBI)
0 Comments
Leave a Reply. |
Details
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. ArchivesCategories |